Kamis, 29 November 2012

peralatan berperang suku dayak

Mandau

Mandau adalah salah satu senjata suku Dayak yang merupakan pusaka turun temurun dan dianggap sebagai barang keramat. Di samping itu mandau juga merupakan alat untuk memotong dan menebas tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya, karena nyaris sebagian besar kehidupan seharian orang Dayak berada di hutan, maka mandau selalu berada dan diikatkan pada pinggang mereka.
Sering kali orang terkecoh antara mandau dan parang atau yang disebut ambang atau apang. Seorang yang tidak terbiasa akan dengan mudah mengira bahwa ambang atau apang adalah mandau karena memang bentuknya sama. Namun bila diperhatikan lebih seksama perbedaan akan ditemukan, yaitu mandau lebih kuat dan lentur karena terbuat dari batu gunung yang mengandung besi dengan proses pengolahan sedemikian rupa, sedangkan ambang atau apang terbuat dari besi biasa. Mandau bertatah, atau berukir  dengan menggunakan emas, perak atau tembaga sedangkan ambang atau apang hanya terbuat dari besi biasa.
Mandau atau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau dirawat dengan baik karena diyakini bahwa mandau memiliki kekuatan spiritual yang mampu melindungi mereka dari serangan dan maksud jahat lawan. Di samping itu diyakini bahwa mandau dijaga oleh seorang perempuan, yang apabila pemilik mandau bermimpi dijumpai perempuan penunggu mandau, berarti rezeki.
Mandau selain dibuat dari besi batu gunung dan diukir, pulang atau hulu mandau  yang biasa disebut pulang mandau juga  dibuat berukir dengan menggunakan tanduk rusa untuk warna putih dan tanduk kerbau untuk warna hitam Namun dapat pula dibuat dengan  menggunakan  kayu kayamihing. Untuk memproses pembuatan pulang mandau dengan  kayu kayamihing terlebih dahulu batang kayu yang akan digunakan tersebut direndam dalam tanah luncur yaitu tanah yang ditemukan di daerah pantai. Dibagian ujung pulang mandau diberi bulu binatang atau rambut manusia. Untuk merekatkan mandau dengan pulangnya digunakan getah kayu sambun yang telah terbukti daya rekatnya.
          


Gambar Pulang mandau terbuat dari tanduk rusa

Setelah pulang dan mandau terikat dengan baik, baru kemudian diikat lagi dengan jangang. Kemampuan daya tahan jangang tidak perlu diragukan, namun apabila jangang sulit ditemukan dapat diganti dengan  anyaman rotan.
Besi mantikei banyak ditemukan di daerah :
•    Di Kereng Gambir, sungai Koro Jangkang, Sungai Mantikei anak Sungai Samba simpangan Sungai Katingan.
•    Batu Mujat dan Batu Tengger yang terdapat disekitar  Pasir Tanah Grogot.
•    Di hulu Sungai Mahakam sekitar Long Tepat dan Long Deho, serta sekitar Long Nawang dan Long Pahangai (Kalimantan Timur)
•    Batu Montalat yang terdapat di hulu Sungai Montalat anak Sungai Barito (Kabupaten Barito) di daerah Saripoi Barito Hulu.
•    Di hulu Sungai Kapuas (Kalimantan Barat) di udik Putu Sibau.
•    Di hulu Sungai Baram, daerah Kucing (Serawak Kalimantan Utara).

Dibutuhkan kemampuan memilih bebatuan yang mengandung besi bila mengawali pekerjaan ini. Kemudian bebatuan yang terkumpul mereka masak dalam tumpukan ranting-ranting dan daun kering dengan menggunakan alat yang disebut puputan, hingga batu-batuan itu bernyala. Dalam keadaan bernyala, bebatuan dimasukkan ke dalam air, bebatuan mendidih di air, dan terurai. Butir-butiran besi yang dihasilkan diolah menjadi bahan pembuatan mandau. Besi mantikei sangat keras, tajam, dan elastis, juga mengandung bisa, disamping itu mahluk halus yang punya maksud jahat takut pada daya magis yang dimiliki oleh besi mantikei tersebut.
Membuat Mandau dengan besi mantikei prosesnya lebih mudah karena pemanasan cukup sekali saja, tidak perlu diulang-ulang. Setelah sekali dipanaskan, sekali dicelupkan ke dalam air, yang biasa disebut suhup lewa, besi mantikei tersebut dapat segera diproses menjadi bentuk mandau yang diinginkan. Dari tetek tatum diketahui bahwa mereka yang mampu mengolah besi batu gunung menjadi mandau hanyalah Pangkalima Sempung dan Bungai serta anak turunannya saja.
Kumpang mandau ialah sarung mandau. Kumpang mandau dibuat dari batang pohon kayu bawang, atau kayu garunggung yang  telah tua usianya. Pada umumnya ketika membuat kumpang lebih cendrung dipilih bahan kayu garunggung karena selain mudah dibentuk, juga tidak mudah pecah. Bagian ujung kumpang mandau tempat masuknya mata mandau dilapisi tanduk rusa. Pada kumpang mandau diberi tiga tempuser undang yaitu tiga ikatan yang terbuat dari anyaman rotan. Apabila Tempuser undang berjumlah empat buah berarti mandau tersebut adalah milik pangkalima.  Ukiran yang populer digunakan pada  kupang mandau ialah ukiran Rambunan Tambun.
Peralatan pada saat membuat kumpang mandau ialah rautan, pisau, jujuk, dan daun ampelas. Agar kumpang mandau menjadi halus dan licin  lalu diampelas dengan sejenis daun berbulu yang bernama bajakah tampelas. Pada kumpang mandau biasanya diberi hiasan manik-manik, atau bulu-bulu burung seperti burung haruei, burung tingang, burung tanjaku atau burung baliang.
Kumpang mandau diberi tali yang terbuat dari anyaman rotan. Guna tali untuk mengikat mandau di pinggang karena memang demikianlah cara tepat membawa mandau. Cara memakai mandau yang benar ialah diikat dipinggang kiri, kupang mandau arah kedepan, dan mata mandau menghadap ke atas. Tali kumpang selain dipakai untuk mengikat mandau pada pinggang juga tempat mengikat dan menyimpan penyang yaitu taring-taring binatang  dan benda-benda kecil bertuah sebagai jimat.
Pada bagian depan kumpang dibuat sarung kecil untuk menyimpan langgei Puai. Langgei Puai ialah sejenis pisau kecil pelengkap mandau.  Tangkainya panjang sekitar dua puluh sentimeter dan mata pisaunya berbentuk lebih kecil dari tangkainya. Bentuk mata pisau semakin ke ujung semakin runcing  dan sangat tajam. Gunanya untuk membersihkan dan menghaluskan benda-benda seperti rotan, juga berfungsi untuk mengeluarkan duri yang terinjak di telapak kaki, karena di masa yang telah lalu orang Dayak berkelana di hutan tanpa alas kaki. Sarung atau kumpang langgei melekat pada sarung atau kumpang mandau, sehingga mandau dan langgei Puai selalu dekat tak terpisahkan.



Gambar Kumpang Mandau dan Langgei Puai
    ( Karya Damang J.Saililah )

Beberapa model mandau yang dikenal antara lain :
•    Model mata mandau Bawin Butung, model hulu mandau, pulang kayuh.
•    Model mata mandau Hatuen Balui,  model hulu mandau pulang kayuh.
•    Model mata mandau bawin Balui, model hulu mandau pulang kayuh.
•    Model Bawen Buhu. Bertatah tiga baris, dibagian ujung mandau juga diberi ukiran. Model pulang kayuh Neneng.
•    Model Butung Bahun Badulilat. Bertatah dua baris. Mandau jenis ini harganya sangat mahal.
•    Model Birang. Polos tanpa tatah, dengan pulang model kamau.


Gambar Mata Mandau
( Karya Damang J. Saililah )

Telawang

Telawang atau perisai yaitu perlengkapan perang yang gunanya untuk melindungi diri menghadapi serangan senjata lawan. Telawang terbuat dari kayu liat, tidak mudah pecah dan ringan, bentuk  persegi enam,  ukuran panjang sekitar satu sampai dua meter, dengan lebar tiga puluh sampai lima puluh  centi meter dan ujungnya mengecil.  Biasanya sebelah depan diberi ukiran sesuai selera pemiliknya, dan sebelah dalam diberi pegangan.

Sipet
Sipet atau sumpit merupakan senjata utama suku Dayak. Bentuknya bulat panjang berukuran satu setengah sampai dua meter, berdiameter dua sampai tiga sentimeter. Pada ujung sipet dibuat sasaran bidik berupa patok kecil bentuk wajik berukuran tiga sampai lima sentimeter. Pada bagian tengah sipet berlubang, harus lurus dan licin dengan diameter seperempat sampai tiga perempat sentimeter. Kadang-kadang lubang sipet bagian bawah lebih besar dari pada lubang sipet bagian atas tetapi kadang-kadang lubang atas dan bawah ukurannya sama. Guna lubang untuk memasukan anak sumpitan atau damek. Bagian atas sipet tepat di depan sasaran bidik, dipasang tombak yang disebut sangkoh terbuat dari batu gunung yang diikat dengan anyaman rotan.
Cara menggunakan sipet adalah sebagai berikut. Mula-mula, damek atau anak sumpitan dimasukkan kedalam lubang sipet dari bawah lalu dengan menggunakan sasaran bidik , lubang  tersebut ditiup menuju sasaran yang dituju. Ketika ditiup kekuatan terbang damek untuk mencapai sasaran dapat mencapai dua ratus meter.
Tidak semua jenis kayu dapat di buat sipet. Dari pengalaman untuk mendapatkan hasil maksimal, sipet dibuat dari kayu tampang, kayu ulin/tabalien, kayu lanan, kayu berangbungkan, kayu plepek, atau kayu resak. Kemudian dibutuhkan juga tamiang atau lamiang yaitu bambu kecil yang beruas panjang. Jenis bambu ini keras dan mengandung racun.
Tidak semua orang mampu membuat sipet, hanya orang-orang yang ahli dalam bidangnya saja yang mampu. Di Kalimantan, suku-suku yang terkenal sebagai suku yang gemar dan mempunyai keahlian khusus dalam pembuatan sumpitan yaitu Suku Dayak Ot Danom, Punan, Apu Kayan, Bahau, Siang dan Pasir. Pembuatan sipet diawali dengan penebangan pohon kayu besar, yang kemudian dipotong memanjang sekitar tiga meter. Dari sebuah pohon berukuran besar dapat dibuat sepuluh sampai dua puluh batang sipet. Untuk membuat lubang di tengah sipet, digunakan alat yang mereka buat sendiri  dari batu gunung yang telah dilebur. Lubang sumpitan harus lurus dan licin.
Proses pembuatan dapat dilakukan dengan dua cara, pertama murni menggunakan tenaga dan ketrampilan tangan si pembuat. Cara kedua dengan memanfaatkan tenaga alam yaitu dengan kekuatan arus air yang terdapat di riam dan dibuat semacam kincir penumbuk padi. Dengan cara ini sipet yang dihasilkan akan lebih banyak sekitar sepuluh batang perminggu. Harga jual per sipet telah ditentukan oleh hukum adat yaitu jipen ije atau due halamaung taheta.   Sipet pantang dipotong dengan parang dan pantang pula di injak-injak. Melanggar aturan berarti tidak mentaati hukum adat, akibatnya bisa-bisa dituntut dalam suatu rapat adat.

Damek

Damek ialah anak sumpitan. Batang damek dibuat dari dahan pohon bendang atau dahan pohon bamban yang sudah dikeringkan. Bentuk dan ukuran damek bermacam-macam, namun ukuran umum biasanya panjang  limabelas centimeter. Lima centimeter dekat ujung damek dibuat celah atau dikerat dengan maksud apabila damek telah ditiup dan mengenai sasaran, tancapan ujung damek tidak mudah terlepas karena menancap dan mengikat daging korbannya bahkan patah sehingga ipuh yang dicampurkan pada damek meracuni korbannya. Dapat juga pada ujung diberi kaitan semacam pancing yang biasa disebut ahau atau lajau.
Untuk menyumpit burung-burung kecil semacam burung pipit, uhit, digunakan gumpalan tanah, kerikil atau buah-buah hutan yang besarnya telah disesuaikan dengan ukuran lubang sumpit Ujung bagian belakang damek diberi kayu ringan berukuran panjang dua centimeter dengan diameter setengah centimeter depan dan tigaperempat centimeter belakang. Kayu ringan tersebut ditancapkan pada bagian belakang damek untuk menstabilkan terbangnya damek saat ditiupkan ke sasaran yang dituju.
Ada dua jenis damek yaitu yang mengandung racun dan yang tidak mengandung racun.  yang mengandung racun digunakan untuk menyerang lawan dengan menggunakan  racun lemah atau racun mematikan. Damek yang tidak mengandung racun digunakan untuk berburu.

Ipu

Ipu ialah racun yang sengaja dibuat pada damek atau anak sumpitan. Racun ipu dibuat dari getah tumbuh-tumbuhan. Diantaranya getah pohon kayu siren/upas, atau ipuh /ipu, yang dicampur dengan getah tuba, batang/uwi ara, juga lombok. Setelah bahan-bahan yang diperlukan terkumpul, lalu dimasak hingga kental. Diberi pewarna yang juga berasal dari tumbuh-tumbuhan. Hitam adalah warna yang umum di pakai, namun dapat pula dipakai warna lainnya seperti putih, kuning, ataupun merah. Untuk racun mematikan, ramuan yang ada masih ditambahkan lagi bisa ular, bisa kalajengking, serum manusia yang telah meninggal lama.

Telep

Telep yaitu tempat menyimpan damek atau anak sumpitan. Dibuat dari seruas bambu dan atasnya diberi tutup yang terbuat dari tempurung kelapa. Bentuk tutup dibuat sedemikian rupa agar tidak mudah terbuka dan jatuh. Pinding telep atau telinga telep terbuat dari kuningan, atau dapat pula dari kayu.
Sebuah telep dapat memuat limapuluh sampai seratus batang damek. Bila bepergian cara membawa telep di kaitkan pada tali mandau pada pinggang sebelah kiri atau dibagian depan.

Taji

Taji adalah sejenis senjata rahasia yang dapat disembunyikan dibalik pakaian atau diikatkan pada pinggang. Bentuknya kecil, panjang hanya sekitar lima sampai sepuluh centi meter, lebar hanya setengah sampai satu centimeter, dan tajam sebelah menyebelah. Biasanya terbuat dari besi batu gunung dan mengandung bisa. Sarung taji terbuat dari kayu atau bambu dan hulunya kecil. Taji yang berasal dari daerah Pasir dan terbuat dari besi batu tengger dan mujat sangat terkenal keampuhannya .
Duhung

Duhung ialah senjata suku Dayak yang bentuk dan ukurannya seperti mata tombak, kedua sisinya tajam, pulang  duhung  terbuat dari tanduk dan kumpang nya  terbuat dari kayu. Hanya Basir, Damang, para Kepala Suku yang boleh memiliki dan menggunakannya.

Lunju

Lunju atau tombak ialah peralatan berburu yang juga dapat digunakan untuk berperang. Lunju bertangkai panjang berukuran dua meter, pada bagian ujung dipasang atau diikat mata lunju  dengan rotan yang dianyam. Untuk kwalitas istimewa mata lunju terbuat dari besi mantikei. Selain digunakan sebagai alat berburu binatang, lunju juga merupakan barang pusaka yang dirawat dengan baik karena dalam upacara-upacara tertentu lunju dibutuhkan keberadaannya sebagai pelengkap persyaratan upacara. Diyakini bahwa lunju-lunju tertentu bertuah dan ada penunggunya.
Beberapa nama lunju :
•    Lunju Bawin Sambilapayau
•    Lunju Darung Arang
•    Lunju Bunu Ruhui
•    Lunju Rabayang
•    Lunju Randu
•    Lunju Bunu – Ranying Pandereh Bunu – Renteng Nanggalung Bulau
•    Lunju Rawayang Sandang Awang
•    Lunju Pakihu, sering digunakan untuk menangkap ikan-ikan besar.
•    Lunju Laurang, sering digunakan untuk berburu babi, rusa dan buaya.
•    Lunju Duhuk, sering digunakan untuk berburu binatang berkaki empat, apabila mata lunju terbuat dari besi mantikei, lunju jenis ini mampu membunuh beruang.
•    Lunju Ambung
•    Lunju Duha, mata lunju berbentuk agak bulat dan tidak panjang.
•    Lunju Buluh
•    Lunju Duha Tundan Dahian
•    Lunju Simpang
•    Lunju Sahimpang
•    Lunju Sarapang
•    Lunju Rangga Simpang
•    Lunju Sahimpang Banan
•    Lunju Salahawu
•    Lunju Simpang Dandan
•    Lunju Sahimpang Dandan

Dondong/Su’ut

Dondong/Su’ut terbuat dari bambu runcing yang bertangkai. Umumnya digunakan untuk menangkap binatang buruan, namun tidak jarang dondang juga dimanfaatkan untuk menyerang lawan. Caranya dondang dipasang mengelilingi kampung lawan dengan ukuran yang telah ditentukan yaitu mengarah kearah perut atau jantung  lawan, sehingga siapapun yang terkena dondang,  jarang yang selamat.

Tambuwung

Tambuwung adalah sejenis perangkap berbentuk lubang yang digali sedalam dua sampai empat meter dan lebarnya satu sampai dua meter. digunakan untuk menangkap binatang buruan, juga untuk menangkap musuh. Lubang bagian dalam dibuat lebih besar dari pada dibagian atas agar apabila binatang atau musuh yang terjebak, tidak mudah untuk naik kembali. Bagian sebelah atas lubang ditutupi dengan ranting-ranting pohon, dedaunan, dibuat sedemikian rupa seolah tidak ada perangkap dibawahnya. Kadang-kadang dalam lubang diberi ranjau yang terbuat dari kayu atau bambu runcing sehingga yang terjebak,  jiwanya sulit tertolong.

Jarat

Jarat atau jerat adalah salah satu cara menangkap binatang buruan di hutan. Namun kadang-kadang digunakan juga untuk menjerat lawan.

Salengkap

Salengkap ialah salah satu alat pemberi tanda kepada penghuni rumah bahwa ada binatang atau musuh lalu atau meliwati daerah dekat rumahnya. Salengkap terbuat dari bambu yang diikat tali berukuran panjang.

Penyang/Penyong

Penyang ialah sejenis jimat yang diwariskan secara turun temurun. Terkadang dalam jumlah banyak berupa kayu-kayuan, batu-batuan, botol-botol kecil yang tertutup rapat, juga taring-taring binatang. Biasanya diikat bergelantungan dipinggang pemiliknya, atau dikalungkan pada leher pemiliknya bahkan dapat pula diikat bergelantungan pada sarung mandau. Penguasa Penyang adalah Jata lalunjung Panjang yang bertempat tinggal di langit ke tiga.  Suku Dayak yakin bahwa penyang yang mereka miliki mampu mengobarkan semangat pada saat perang, sehingga mereka tidak memiliki rasa takut kepada musuh. Disamping itu penyang mampu sebagai penolak bala, penolak racun apabila musuh berniat jahat meracuni mereka, menghindari gangguan mahluk halus, bahkan mampu menyembuhkan penyakit.
Penyang pantang dilangkahi oleh siapapun juga karena dengan dilangkahi khasiatnya akan berkurang. Jangan coba-coba mentertawakan atau memperolok-olok seorang yang ditubuhnya bergelantungan penyang karena penyang adalah lambang keberanian.  Mentertawakan atau menghina sama artinya dengan menghina Suku, hukumannya sama dengan membunuh Kepala Suku yaitu hukuman mati.

Langgei Simbel

Senjata khusus semacam jimat yang hanya dimiliki oleh kaum perempuan. Bentuknya kecil, pada langgai ditemukan semacam gelang yang terbuat dari tembaga.

Lain-lain
Masih banyak lainnya, misalnya Rawayang Kawit Kalakai, Dereh Bunu, Dando atau Rando, Tohok, Tirok, Simpang, Jambia, Karis.

Upacara Adat Nyabakng Oleh Suku Dayak Bakati’

nyangahatn-
Lepas dari kursi bis, perjalanan disambung dengan sepeda motor selama tiga puluh menit dari kota Kecamatan Sanggau Ledo, menyusuri jalan tanah campur batu bersusun menuju Kampung Segiring, Desa Pisak, Kecamatan Tujuh Belas itu, melintasi hamparan kebun lada, jagung dan karet disela-sela batas rumah penduduk. “Sumber hidup kami ini bergantung pada tiga jenis komoditi ini. Kalau karet sifatnya harian, jagung bulanan. Sedang lada dan padi, tahunan” (Sais, Wakil Ketua Badan Pemusyawaratan Desa, Desa Pisak, 2007).
Memasuki perkampungan Dayak Bakati’ yang sebagian besar warganya bertanam karet, jagung, lada itu, tak ada lagi rumah betang yang menandainya sebagai sebuah kampung Dayak. Rumah betang merupakan tempat tinggal bersambung pada masyarakat Dayak di Kalimantan dan Malaysia Timur yang memiliki filosofi kebersamaan, demokratis dan ekologis itu telah musnah seiring karena faktor politik pada 1904 dimana kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda untuk memusnahkan rumah betang (Paulus Florus,et.al., 2005).
Rumah betang sebagai gambaran keadaan kampung Dayak Bakati’ di daerah ini sudah berganti dengan rumah-rumah tunggal berdinding semen, jendela kaca. Sebagian besar, bahkan sudah berhias parabola berikut aksesoris seperti pemutar cakram video. Sekilas kampung Segiring sudah menjadi kampung yang modern. Sebagian besar warga memiliki perabot rumah tangga modern, alat dapur mengunakan listrik dan gas, bahkan gaya hidup modern.
Namun, ditengah perubahan kehidupan tradisional menuju modern itu ternyata menyisakan persoalan pelik. Dari tujuh puluh enam kepala keluarga kampung ini, kini tinggal sebagian kecil yang masih memegang teguh adat, budaya dan kepercayaan asli Dayak Bakati’ semisal ritual Nyabangk, yakni ritual upacara adat menutup siklus tahun perladangan yang lama dan membuka tahun perladangan yang baru.
Hanya delapan kepala keluarga yang masih berpegang dan melanjutkan tradisi yang diwariskan Roda Dua Mansa nenek moyang mereka yang berasal dari Pemagen (panglima atau pemenggal kepala) yang hidup beranak pinak di Segiring. Roda Dua Mansa ini memperanakan Supai Mak Upik, Sadani Mak Ngaji dan Santak Mak Batakng. Dari keluarga inilah, selanjutnya warga Segiring berasal hingga kini.
Bagi masyarakat perkotaan, padi atau beras hanyalah sekadar barang kebutuhan sehari-hari. Komoditas yang dapat dibeli asalkan ada uang. Tetapi, bagi masyarakat adat Dayak Bakati’ di daerah Kabupaten Bengkayang, padi dan beras bukanlah semata-mata komoditas semata, melainkan berkat Jebata (Sang Pencipta) yang harus disyukuri.
Padi dan beras adalah sumber kehidupan masyarakat Dayak Bakati’. Karena itu, seluruh rangkaian proses produksi padi itu tidak terlepas dari campur tangan Jebata yang harus selalu dipandang sebagai rangkaian perjalanan hidup itu sendiri. Tidak mengherankan kalau masyarakat Dayak Bakati’ menganggap seluruh alur proses produksi padi : matuk (meminta izin untuk menggarap ladang baru), numa (membersihkan belukar di areal ladang), nabet (menebang pohon), najak (memotong cabang-cabang pohon yang telah tumbang dijadikan hamparan), nyauk (mengeringkan pohon yang ditebang dan siap dibakar), ngeraih (membuat pembatas api di sekeliling ladang), natak (membakar), nyabiong (menempatkan semangat padi) dan nyabangk atau upacara adat tutup tahun sebagai suatu kronologis penting dalam siklus aktivitas perladangan hidup mereka.
Mereka menghayati rangkaian proses itu dalam bentuk-bentuk kegiatan ritual berkaitan dengan kegiatan perladangan yang sudah bermakna religius dan selalu dihubungkan dengan kebesaran Jebata.
Dalam semangat itu pulalah upacara adat Nyabangk masyarakat Bakati’ di Kabupaten Bengkayang, Kalbar, pada 19-21 Mei 2007 lalu harus dipahami. Nyabangk itu sendiri sebenarnya sudah menjadi kegiatan rutin tahunan masyarakat Bakati’ dan selalu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Jebata atas hasil panen padi atau pertanian lainnya yang diperoleh dan selanjutnya memohon berkat dan lindungan untuk tahun berikutnya.
Pelaksanaannya, para tua-tua adat yang terdiri dari Amak Sabangk dan Amak Gandangk serta anggota masyarakat yang merayakanya memberi makan roh-roh Pemagen dengan sesaji yang terdiri dari : daging, darah, kepala, hati (anjing, babi, ayam), beras kuning, beras pulut, nasi panggang, lambang (lemang), sirih, pinang, kapur, gambir, besi, tembako, air tawar, tepung beras, tumpi, ketupat, telur ayam kampung, kundur, timun, ampa padi, lenjuang, pelangkang, tapai tuak, tuak jandungk, nasi buis, pekasam babi hutan, udang, ikan, kepiting, siput, daun durian dan langsat, batang pisang, ratih padi, biji timun dan nasi sungki serta apar.
Sesaji itu dipersembahkan di lima tempat yakni di wilayah Marindu ditetapkan sebagai daerah penungkul (tapal batas wilayah) satu. Penungkul dua di jalan Sei Pisak dan penungkul tiga di jalan Gunung Temuak. Selanjutnya tempat yang keempat di Benen (lokasi penyembahan), dan tempat terakhir di Pungok yaitu rumah adat yang letaknya di tengah-tengah kampung. Persembahan sesaji ini selain dilakukan di lima tempat di atas, juga dilakukan di rumah Ama Sabangk dan Ama Gandangk serta warga yang merayakannya. Biasanya disudut setiap bilik rumah ada tempat pemujaan.
Bedanya jenis bahan sesaji antara di lima tempat dan di rumah Amak Sabangk, Amak Gandangk dan anggota adalah pada jenis binatang yang akan dipersembahkan. Di rumah anggota tidak perlu anjing. Anjing hanya sesaji dipersembahkan di daerah penungkul. Hal ini dilakukan karena anjing merupakan simbol memiliki panca indera yang tajam. Dapat menjaga wilayah dari berbagai macam kejahatan.
Pungok berukuran lima kali lima meter ini tak disangka menyimpan misteri Dayak Bakati’. Sedikitnya tiga puluh tengkorak manusia disimpan dalam tiga keranjang di atas bilik. Tengkorak-tengkorak itu dikumpulkan oleh puak-puak Dayak Bakati’ sebelum tradisi mengayau pada masyarakat Dayak dihentikan tahun 1894 pada Perjanjian Damai Tumbang Anoi yang di prakarsai oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Kalimantan Tengah (Edi Petebang, 2005).
Dua diantaranya dikenali, Senyarong Kijang dan Sumang Manyurut. Tengkorak Senyarong Kijang adalah seorang perempuan digdaya dijamannya berasal dari Sempauk, namun jauh kalah dengan kedigdayaan Sudung Mak Pancer. Sedangkan Sumang Manyurut seorang lelaki pemberani dan perkasa berasal dari Siding yang takluk di kayau Santak Mak Batangk asal Segiring.

tari dayak
Prosesi ritual adat Nyabangk ini terdiri dari : Takubu, Bapasah, Tangga Tonguh, Nyirang ka Pungok, Penampen Paing Tawar dan Nariu.
Takubu
Seluruh tua-tua adat dan warga yang melaksanakan kegiatan upacara adat Nyabangk berkumpul di rumah Amak Sabangk yang kini dijabat Simin, tepat jam 18.30 WIB. Mereka melakukan musyawarah untuk membagi peran mempersiapkan perlengkapan ritual adat untuk di bawa ke Pungok, tujuh ratus meter dari rumah Amak Sabangk.
Jam 20.00 WIB seluruh perlengkapan pun lengkap. Perjalanan menuju Pungok pun dimulai. Tua Simin, Tua Liak, Tua Siung, Tua Juim, Tua Kujin, Tua Siton, Tua Akun dan Tua Arin berjalan perlahan, sebab jalan licin baru saja hujan turun. Selang dua puluh menit, rombongon telah tiba di Pungok. Setibanya di Pungok seluruh tua-tua memohon doa kepada Jebata sambil membawa sesaji untuk mohon izin membesihkan peralatan yang akan digunakan untuk ritual Nyabangk pada tahun ini. Selanjutnya mereka membersihkan sabangk (gendang diameter 80 cm, panjang 4 meter), mengeluarkan : linang, gong, tawak, manduh, bandih. Selanjutnya mereka menggoreng tumpe (kue sejenis cucur) dan melatuk (menggongseng) jagung dan padi.
Kulit gendang direndam selama tiga puluh menit. Sebab, kulit rusa ini akan lembut dan lebih mudah dimasukkan ke sabangk setelah selama setahun mengering tidak dipergunakan jika direndam dengan air lebih dahulu. Setelah Amak Gandangk, Liak yang juga Kepala Dusun ini ditemani Siung, Juim, Kujin, Siton, Aring, Akun dan Simin memasukkan kulit ke Sabangk, maka usailah kegiatan ritual Takubu. Mereka mengunci pintu Pungok dan kembali ke rumah masing-masing untuk istirahat sejenak, sebab besok pagi jam 04.00 upacara Bapasah akan dimulai.
Bapasah
Sebelum fajar tiba, tepat jam 04.00 Amak Sabangk, Amak Gandangk dan enam anggotanya keluar teratur meninggalkan bilik rumah Amak Sabangk berjalan ke Pungok. Temaram lampu “pelita” minyak tanah menerangi perjalanan mereka. Amak Sabangk memimpin, disusul Amak Gandangk dan anggota yang lain. Maksud kedatangan mereka untuk bapasah. Bapasah suatu ritual adat untuk memohon para orang-orang besar yang mereka sebut sebagai Pemagen (panglima perang) untuk datang makan sesaji yang akan dipersembahkan. Tujuh pemagen yang sangat mereka kenal dan berjasa menyelamatkan mereka. Karena itulah Amak Sabangk, Amak Gandangk dan timnya harus tariu (memanggil) : Santak Mak Batangk, Sadani Mak Ngaji, Supai Mak Pile, Sapuk Sekilat, Saparang Mak Baye, Sudukng Mak Pancer dan Samue Nok Nonggoi.
Dini hari itu, sabangk bertalu-talu di tabuh. Seketika itu pula suara “lolongan” anjing di sudut kampung dan jangkrik yang sempat menyeramkan, berlalu dari pendengaran. Sambil menabuh sabangk, Akun mengisap rokok kreteknya sambil menghitung tujuh puluh tujuh pukulan yang harus di tabuh. Selanjutnya, Amak Sabangk berikat kain putih di kepala mengarah ke timur, terbitnya fajar mengucapkan doa memohon pada tujuh pemagen untuk hadir menyantap makan yang telah dihidangkan.
Usai mengucapkan doa, Amak Sabang memukul bandih 14 kali. Maksudnya, sebagai tanda bunyi irama Ngeliluk (irama seni musik khusus tahun baru) boleh dimulai. Sementara itu pada waktu yanga sama, Liak dan Aring memukul linang (satu set alat musik terbuat dari kuningan berupa gong kecil berjumlah 8 buah) tanpa gandangk (gendang kulit rusa berdiameter 25 cm, panjang 60 cm) dan sabangk (gendang kulit rusa berdiameter 50 cm, panjang 4 meter).
Lima menit berjalan, ngeliluk pun usai. Irama ngeliluk diganti dengan irama dindong (irama seni musik khusus untuk penghormatan pemagen). Bedanya dengan ngeliluk, dindong iramanya sedikit lebih cepat dan sabangk boleh ditabuh oleh dua orang bersamaan. Begitu irama dindong usai, ayam mulai turun dari pohon, Pungok dan sekitarnya mulai terang. Dapur warga sekitar perlahan mengepulkan asap, tanda aktivitas pagi di mulai.
Tangga Tonguh
Usai Bapasah selama dua jam dua puluh menit, para tua-tua adat segera kembali ke rumah Amak Sabangk. Mereka terlihat agak tergesa-gesa. Aring keluar lebih dahulu membawa bokor berisi sesaji, disusul Akun, Liak, Simin dan beberapa anggota lainnya. Penyeledikan penulis, mereka harus mengelola waktu dengan cermat dan tepat. Sebab, ritual Tangga Tonguh ini dilakukan pada pagi menjelang siang. Hal ini, erat hubungannya dengan pola hidup Pemagen dan Jebata yang kontras dengan kehidupan manusia.
“Jadi, pada waktu yang tepat mereka bisa hadir di undang. Jika kesiangan atau waktunya tidak tepat, maka akan fatal” (Simin, 2007). Sementara rombongan dalam perjalanan, rumah Amak Sabangk telah dibuka. Mereka duduk sejenak sambil merokok mendiskusikan perlengkapan yang belum lengkap. Sebab, bahan yang dibutuhkan harus lengkap. Jika tidak, maka akan fatal. Berdasarkan pengalaman, jika salah satu terlupakan meskipun kecil maka berdampak bukan saja pada warga sekampung. Tapi, justru salah satu dari tua-tua ini bisa sakit, bahkan menghantar mereka pada kematian. Karenanya, Amak Sabangk selalu melakukan ceklist satu persatu perlengkapan ritual yang dibutuhkan.
Begitu lengkap, ritual tangga tonguh pun digelar tepat jam 06.30. Seluruh tua-tua adat serempak mengucapkan doa. Telunjuk mereka selalu dicelupkan ke mangkok kecil berisi minyak kelapa. Maksudnya, mereka membuat ”jembatan” supaya ketujuh pemagen datang pula ke rumah para tua-tua adat dan anggotanya untuk di beri makan sambil memohon kepada Jebata. Usai mengucap doa, Aring naik ke bale (kotak khusus tempat padi hasil panen tahun lalu) dan meletakan sesaji ke atas meja penyembahan di sudut kanan atas bilik rumah Amak Sabangk.
Berbeda dengan Bapasah, ritual Tangga Tonguh ini memohon kepada Jebata, bukan kepada Pemagen. “Disini kita berhubungan dengan ritual adat ucapan syukur tutup tahun padi yang lalu dan memanjatkan doa untuk memohon berkat berlimpah pada tahun mendatang. Jadi ini khusus ritual adat proses siklus perladangan” (Simin, 2007).
Setengah jam berlalu, dari dapur Tua Aring mengambil seekor ayam putih dan menyembelihnya. Darah ayam ditadah dalam sebuah mangkok. Dua helai bulunya dicabut, hatinya dimasak untuk segera dicampur dengan segenggam nasi putih yang ditadah dalam daun simpur (pohon berdaun lebar, daunnya digunakan untuk membungkus nasi). Selanjutnya bandih dipukul sebanyak 27 kali. Tua Arin dan Simin bergilir turun naik bale membawa sesaji diletakkan diatas meja penyembahan, sambil berdoa kepada Jebata.
“Acara ini diakhiri dengan pembacaan doa ngares bia untuk pemagen, napel nyirih dan cuci tangan pakai tapai tuak beras ketan. Barulah mereka bisa datang untuk makan sesaji yang disiapkan” kata Simin, sambil melihat derajat matahari sebagai petunjuk waktu ke luar rumah. Diluar, telah siang. Jam 09.30 tua-tua adat makan bersama selanjutnya berpacu dengan waktu untuk menggelar ritual Nyirang Ka Pungok.
Nyirang Ka’ Pungok
Jam 12.00, Pungok kembali dibuka. Tua-tua adat menurunkan dua tengkorak manusia. Sebelum diturunkan, ritual adat dan sesaji dipersembahkan kepadanya. Beberapa pelangkang dibuat untuk dipersiapkan memberi sesaji di empat lokasi. Pelangkang utama lebih dahulu dibuat, ditanam persis di timur di luar rumah adat. Pelangkang utama dihiasi dengan daun kelapa muda dan kain serta telur ayam kampung.
Berpacu dengan waktu, Amak Sabangk selanjutnya memukul bandih sebanyak 21 kali. Hal ini sebagai tanda bahwa ritual adat sudah pada tahap Nyirang Ka’ Pungok. Selanjutnya, tua-tua berdoa untuk memberi sesaji tengkorak. Ayam di semblih, darahnya diambil dimasukan dalam mangkok sebagai perlengkapan sesaji. Akun mengambil kepala ayam, selanjutnya diikatkan pada daun kelapa muda persis sejajar dengan dua tengkorak manusia di atas tempayan tua.
Usai mempersembahkan sesaji, linang, bandih, tawak, sabangk pun di tabuh. Ruangan berdebu dan berpasir inipun, kini kelihatan agak bersih. Bahkan, dengan semakin ramainya anak-anak yang datang untuk menonoton turut berkontribusi membersihkan ruangan seiring irama ngeliluk dan dindong yang di bunyikan. Sebuah pemandangan indah bak panggung teater rakyat. Irama ngeliluk dan dindong ini ternyata menghantar tua-tua adat untuk beristirahat selama 180 menit.
Penampen Paing Tawar
Tepat jam 15.00, usai istirahat singkat, tua-tua berkumpul ke Pungok. Mereka mempersiapkan penampen paing tawar, bokor berisi air kundur, minyak kelapa yang disimpan dalam sebatang bambu kecil dan batu yang diikat melilit ditaruh dalam mangkok. Selama dua puluh menit mereka di Pungok, kini kembali turun sambil membawa seekor ayam dan berjalan ke rumah-rumah warga yang menjadi anggota.
Ciri-ciri warga yang menjadi anggota ini mudah ditentukan. Karena setiap sudut bilik rumah terdapat tempat penyembahan. Bahkan, para tua-tua sangat mengenalinya dan bisa membedakannya. Prosesi acara penampen paing tawar ini sangat meriah. Meriah, karena kunjungan ini boleh diikuti oleh anak-anak. Sementara seluruh anggota keluarga yang mau dikunjungi telah siap menerima kedatangan rombongan. Mereka mempersiapkan tuak dan jamuan sederhana terhadap rombongan yang datang. Jika dalam keluarga tersebut ada anggota keluarganya sakit, maka salah satu diantara tua-tua akan melakukan ritual pengobatan. Caranya mengisap bagian yang sakit. Namun, bagi yang sehat, tua-tua adat hanya mengoleskan minyak kelapa pada bagian leher, kepala dan pundak.
Nariu
Usai acara penampen paing tawar, tua-tua kembali ke Pungok. Mereka akan menggelar acara nariu (prosesi menurunkan tengkorak untuk di beri makan dan selanjutnya di kembalikan ke asalnya seperti semula sambil menari dan memanggil dan memohon pada Jebata). Prosesi tariu ini diawali dengan menyembelih ayam, darahnya diambil untuk sesaji. Kepala ayam ditusuk dengan daun kelapa, ditaruh persis di atas sabangk. Tua-tua kembali mempersiapkan perlengkapan untuk ritual nariu. Puluhan penari nariu pun telah berkumpul di Pungok. Para penari ini telah siap dengan asesorisnya, giring-giring (gelang terbuat dari kuningan) di kaki dan kalung terbuat dari taring (gigi) aneka binatang hutan di leher.
Sebelum nariu, para penari harus menyimak nasihat Amak Sabangk dan Tua Aring. Jika terjadi sesuatu pada proses nariu, mereka harus duduk manis dan yang lain segera “menentramkan”. Karena itu, sebelum menari dan nariu, penari wajib mendapat paing tawar (air penawar) dari Amak Sabangk. Mereka harus mengikuti ritual buah ngawah. Maksudnya, agar seluruh penari tidak kesurupan dan acara tidak kacau balau.
Tepat jam 15.30, prosesi nariu pun dimulai. Nariu ini diawali dengan sesaji bapatek dan bapadu. Selanjutnya berturut-turut menyembelih ayam, anjing hitam dan babi. Ketika tua-tua membunuh anjing, tengkorak di atas bilik segera diturunkan. Puluhan penari lelaki, bertelanjang dada dibawah siap menerima lebih kurang 30 tengkorak manusia dari atas. Seorang tua-tua mengulurkan tengkorak tiga kali yang disimpan di tiga keranjang.
Begitu keranjang pertama turun, para penari nariu mengelilingi tengkorak dengan irama lambat. Namun, begitu keranjang kedua dan tiga turun irama tarian berubah. Makin lama, makin cepat dan suasana “menakjubkan”. Sementara itu, disudut timur suara seekor babi menjerit menambah suasana “haru”. Babi dibunuh, darahnya dipercikan ke tengkorak. Tiga keranjang tengkorak lalu diangkat kembali satu per satu kembali ke posisi asalnya, yakni diatas bilik Pungok.
Sabangk ditabuh Tua Akun bertalu-talu, Amak Sabangk mengucapkan doa, petanda tariu dimulai. Penabuh sabangk, pemukul linang, bandih, tawak harus prima, sebab ritual tariu ini butuh waktu sekitar satu jam. Selama satu jam, musik harus kontinyu. Sebab, musik ini sebagai pengiring ritual menurunkan dan menaikkan tengkorak butuh waktu yang cukup. Tidak heran, jika penabuh sabangk dua orang. Sebaliknya pula, penari nariu pun harus cekatan melaksanakan tugasnya, menurunkan dan menaikkan keranjang berisi tengkorak. Selama proses ini, para penari mandi keringat. Usai melaksanakan tugasnya, perlahan mereka terlihat mulai lelah, seiring dengan gelapnya hari di luar Pungok, pertanda hari mulai malam dan mereka pun bergegas akan mengantar sesaji ke tiga wilayah penungkul.
Sebelum kemalaman, Amak Sabangk dan Amak Gandangk membagi jumlah yang hadir menjadi tiga kelompok. Tujuannya agar setiap kelompok membawa sesaji untuk diletakkan di tiga penjuru kampung. Sebagai penukul di Marindu, Jalan Sei Pisak dan Jalan Gunung Temuak. Lokas ini diyakini sebagai penunggu kampung yang senantiasa melindungi dan menjaga warga dari malapetaka yang akan menyerang warga.
Sementara aktivitas tiga kelompok berjalan, Amak Sabangk membawa sesajian ke Benen (penyembahan) sekitar tujuh meter ke arah timur dari Pungok. Di lokasi ini terdapat pohon leban tertua, tempayan dan beberapa asesoris penyembahan dijadikan pamali untuk di sentuh, apalagi ditebang. Dengan dipersembahkannya sesaji di Benen ini, maka ritual-ritual siklus perladangan selanjutnya sah dilakukan warga berlanjut pada hari-hari berikutnya.
Penulis menyaksikan, meski diguyur gerimis prosesi ritual tariu (bagian akhir ini) dipenuhi antusias warga untuk menyaksikannya. Mulai anak-anak hingga orangtua. Hanya pertanyaannya, apakah kehadiran mereka untuk sekadar menonton keunikan adat budaya Bakati’ di tengah badai modernisasi atau sebaliknya justru mendorong semangat untuk tetap melestarikan adat, budaya dan hukum adat sebagai warisan pada generasi Dayak Bakati’ di masa datang?
Teater Rakyat
Jika dipandang dari sudut seni pertunjukan, upacara ritual Nyabank ini erat kaitannya dengan seni pertunjukan, khususnya teater. Sebetulnya unsur semua cabang seni masuk dalam peristiwa ritual ini. Ada seni rupa, tari, musik dan teater. Unsur teaterikal yang menonjol antara lain ketika semua proses dialog antara pemimpin upacara dengan para penari saat upacara nariu. Namun lebih dari itu, unsur teater juga masuk dalam rangkaian setiap upacara dimana terjadi dialog dan monolog dengan sesama petugas upacara dan antara imam yang memimpin upacara dengan para makhluk gaib.
Jika unsur seni ritual ini dilepas atau diambil unsur pertunjukan teaternya bisa diadopsi dan dapat menjadi ide teaterikal yang kemudian diolah menjadi sebuah pertunjukan panggung, barangkali bisa menjadi suatu bentuk teater yang indah. Tentu saja harus dipilah antara ritual dan non ritualnya. Pemisahan itu dapat dilakukan ketika telah mengalami proses transformasi. Agak sulit memang menemukan unsur seni tradisi yang murni hiburan sebab seperti juga yang dikatakan oleh Edi Sedyawati bahwa seni pertunjukan di kalangan masyarakat tradisional mempunyai fungsi antara lain:
1. Pemanggil kekuatan gaib
2. Penyemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pemujaan
3. Memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat
4. Peringatan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan maupun kesigapannya
5. Pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang (Edi Sedyawati, 1980).
Menyimak uraian di atas, jelaslah bahwa sebetulnya kita kaya akan seni terutama seni pertunjukan yang didalamnya ada teater, music dan tari. Sekarang, tinggal bagaimana kita melakukan proses transformasinya dengan baik dan benar agar unsur ritulanya tidak hilang begitu saja.
Sumber  Acuan

Edi Petebang, Dayak Sakti, Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah, Pontianak, Institut Dayakologi, cetakan ke 3, 2005.
Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: 1980.
Majalah Kalimantan Review, Juni 2007.
Paulus Florus, et.al., Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi, Pontianak, Institut Dayakologi, cetakan ke 2, 2005
Simin, Amak Sabangk-Sesepuh Dayak Bakati’ di Desa Pisak Kecamatan Tujuhbelas Kabupaten Bengkayang, diwawancarai Mei 2007.
Sais, Wakil Ketua Badan Pemusyawaratan Desa, Desa Pisak, diwawancarai Mei 2007
Posting: John Roberto Panurian, S.Sn-http://sengalangburongcomunity.blogspot.com/

UPACARA TIWAH ADAT DAYAK

Upacara Tiwah atau Tiwah Lale atau Magah Salumpuk liau Uluh Matei ialah upacara sakral terbesar untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju tempat yang dituju yaitu Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habusung Hintan, Hakarangan Lamiang atau Lewu Liau yang letaknya di langit ke tujuh.
Perantara dalam upacara ini ialah :
Rawing Tempun Telun, Raja Dohong Bulau atau Mantir Mama Luhing Bungai Raja Malawung Bulau, yang bertempat tinggal di langit ketiga. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya Rawing Tempun Telun dibantu oleh Telun dan Hamparung, dengan melalui bermacam-macam rintangan.
Kendaraan yang digunakan oleh Rawing Tempun Telun mengantarkan liau ke Lewu Liau ialah Banama Balai Rabia, Bulau Pulau Tanduh Nyahu Sali Rabia, Manuk Ambun. Perjalanan jauh menuju Lewu Liau meli\ewati empat puluh lapisan embun, melalui sungai-sungai, gunung-gunung, tasik, laut, telaga, jembatan-jembatan yang mungkin saja apabila pelaksanaan tidak sempurna, Salumpuk liau yang diantar menuju alam baka tersesat. Pelaksana di pantai danum kalunen dilakukan oleh Basir dan Balian. Untuk lebih memahami uraian selanjutnya, beberapa istilah perlu diketahui :
Pengertian yang Perlu Dipahami
1. Jiwa atau Roh.
a. Jiwa/roh manusia yang masih hidup di dunia disebut Hambaruan atau Semenget.
b. Jiwa/roh orang yang telah meninggal dunia disebut Salumpuk Liau. Selumpuk Liau harus dikembalikan kepada Hatalla.
Prinsip keyakinan Kaharingan menyatakan bahwa tanpa diantar ke lewu liau dengan sarana upacara Tiwah, tak akan mungkin arwah mencapai lewu liau. Bila dana belum mencukupi, ada kematian, pelaksanaan upacara Tiwah boleh ditunda menunggu terkumpulnya dana dan bertambahnya jumlah keluarga yang akan bergabung untuk bersama melaksanakan upacara sakral tersebut.
Upacara besar yang berlangsung antara tujuh sampai empat puluh hari tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit, namun karena adanya sifat gotong royong yang telah mendarah daging, maka segala kesulitan dapat diatasi. Tumbuh suburnya prinsip saling mendukung dalam kebersamaan menumbuhkan sifat kepedulian yang sangat mendalam sehingga kewajiban melaksanakan upacara Tiwah bagi keluarga-keluarga yang ditinggalkan didukung dan dilaksanakan bersama oleh mereka yang merasa senasib dan sepenanggungan.
c. Salumpuk Bereng yaitu raga manusia yang telah terpisah dari jiwa karena terjadinya proses kematian. Setelah mengalami kematian, salumpuk bereng diletakkan dalam peti mati, sambil menunggu pelaksanaan upacara Tiwah, salumpuk bereng dikuburkan terlebih dahulu.
d. Pengertian dosa
Tiga hukuman dosa yang harus ditanggung oleh Salumpuk liau akibat perbuatan semasa hidupnya :
1). Merampas, mengambil isteri orang, mencuri dan merampok. Hukuman yang harus dijalani oleh Salumpuk liau untuk perbuatan ini ialah menanggung siksaan di Tasik Layang Jalajan. Untuk selamanya mereka akan menjadi penghuni tempat tersebut. Di tempat itu pula Salumpuk liau harus mengangkat barang-barang yang telah dicuri atau dirampok ketika hidup di dunia. Barang-barang curian tersebut akan selalu dijunjung sampai pemilik barang yang barangnya dicuri meninggal dunia.
2). Ketidakadilan dalam memutuskan perkara bagi mereka yang berwewenang memutuskannya, yaitu para kepala kampung, kepala suku dan kepala adat. Mereka juga akan dihukum di Tasik Layang Jalajan untuk selamanya dalam rupa setengah kijang dan setengah manusia.
3). Tindakan tidak adil atau menerima suap atau uang “Sorok“ bagi mereka yang bertugas mengadili perkara di Pantai Danum Kalunen (dunia). Mereka akan dimasukkan ke dalam goa-goa kecil yang terkunci untuk selamanya.
2. Jenis dan Nama Peti Mati :
a. Runi yaitu jenis peti mati yang terbuat dari batang kayu bulat, bagian tengahnya dibuat berongga/diberi lubang dan ukuran lubang tengah disesuaikan dengan ukuran salumpuk bereng yang akan diletakkan di situ.
b. Raung yaitu peti mati terbuat dari kayu bulat, seperti peti mati pada umumnya, ada tutup peti pada bagian atas.
c. Kakurung, yaitu jenis peti mati pada umumnya terbuat dari papan persegi empat panjang, dengan tutup dibagian atas.
d. Kakiring, peti mati berbentuk dulang tempat makanan babi, kakinya berbentuk tiang panjang ukuran satu depa.
e. Sandung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan empat tiang.
f. Sandung Raung, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan enam tiang.
g. Sandung Tulang, berbentuk rumah kecil berukuran tinggi, dengan satu tiang.
h. Sandung Rahung, umumnya digunakan oleh mereka yang mati terbunuh. Sandung Rahung juga disebut Balai Telun karena Rawing Tempun Telun akan memberikan balasan kepada si pembunuh.
i. Tambak, di kubur di dalam tanah bentuknya persegi empat.
j. Pambak, juga dikubur dalam tanah, namun bentuknya sedikit berbeda dengan Tambak.
k. Jiwab, bentuknya menyerupai sandung namun tanpa tiang.
l. Sandung Dulang, tempat menyimpan abu jenazah.
m. Sandung Naung, tempat menyimpan tulang belulang.
n. Ambatan, patung-patung yang terbuat dari kayu dan diletakan disekitar sandung.
o. Sapundu, patung terbuat dari kayu berukuran besar dan diletakan di depan rumah.
p. Sandaran Sangkalan Tabalien yaitu patung besar jalan ke langit.
q. Pantar Tabalien yaitu Pantar kayu jalan ke lewu liau.
r. Sandung Balanga, yaitu belanga tempat menyimpan abu jenazah.
Upacara Tiwah adalah upacara sakral terbesar yang beresiko tinggi, maka pelaksanaan dan persiapan segala sesuatunya harus dilakukan dengan benar-benar cermat, karena kalau terjadi kekeliruan atau pelaksanaan tidak sempurna, para ahli waris yang ditinggalkan akan menanggung beban berat, diantaranya :
1). Pali akan pambelum itah harian.
2). Tau pamparesen itah limbah gawie toh.
3). Indu kakicas, pambelum itah harian andau.
Banyak persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya harus tersedia hewan korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, bahkan di masa yang telah lalu persyaratan yang tersedia masih dilengkapi lagi dengan kepala manusia. Makna persembahan kepala manusia ialah ungkapan rasa hormat dan bakti para ahli waris kepada salumpuk liau yang siap diantar ke Lewu Liau. Mereka yakin bahwa kelak di kemudian hari apabila salumpuk liau telah mencapai tempat yang dituju yaitu Lewu Liau, maka sejumlah kepala yang dipersembahkan, sejumlah itu pula pelayan yang dimilikinya kelak. Mereka yang terpilih dan kepala mereka yang telah dipersembahkan dalam upacara sakral tersebut, secara otomatis Salumpuk liau-nya akan masuk Lewu Liau tanpa harus di-tiwah-kan walau keberadaan mereka di Lewu Liau hanya sebagai pelayan. Namun di masa kini hal tersebut telah tidak berlaku lagi. Kepala manusia digantikan oleh kepala kerbau atau kepala sapi.
Pelaksana upacara sakral
1. Balian
Balian adalah seorang perempuan yang bertugas sebagai mediator dan komunikator antara manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh kasat mata jasmani manusia. Balian menyampaikan permohonan-permohonan manusia kepada Ranying Hatalla dengan perantaraan roh baik yang telah menerima tugas khusus dari Ranying Hatalla untuk mengayomi manusia.
Tidak setiap orang sekalipun berusaha keras, mampu melakukan tugas dan kewajiban sebagai Balian. Biasanya hanya orang-orang terpilih saja. Adapun tanda-tanda yang mungkin dapat dijadikan pedoman kemungkinannya seorang anak kelak dikemudian hari bila telah dewasa menjadi seorang Balian, antara lain apabila seorang anak perempuan lahir bungkus yaitu pada saat dilahirkan plasenta anak tidak pecah karena proses kelahiran, namun lahir utuh terbungkus plasentanya, juga sikap dan tingkah laku anak sejak kecil berbeda dengan anak-anak pada umumnya, ia pun banyak mengalami peristiwa-peristiwa tidak masuk akal bagi lingkungannya.
2. Basir.
Basir seperti halnya Balian adalah mediator dan komunikator manusia dengan makhluk lain yang keberadaannya tidak terlihat oleh mata jasmani. Di masa silam, Basir selalu seorang laki-laki yang bersifat dan bertingkah laku seperti perempuan, namun untuk masa sekarang hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Dalam dunia spiritual Basir memiliki kemampuan lebih, dalam hal pengobatan, khususnya penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistik.
3. Telun atau Pisur
Telun atau Pisur adalah pangkat atau jabatan dalam agama Kaharingan. Telun bertugas hanya akan hal-hal yang berkaitan dengan upacara-upacara adat keagamaan. Telun tidak termasuk dalam jabatan atau anggota Kerapatan Adat. Dengan demikian Telun tidak punya suara dalam Putusan Kerapatan Adat.
4. Mahanteran
Mahanteran atau Manjangen adalah mediator dan komunikator manusia dengan Rawing Tempun Telun. Biasanya seorang Mahanteran atau Manjangen, selalu duduk di atas gong, sambil memegang duhung dan batanggui sampule dare
Upacara Tiwah
Proses Pelaksanaan Upacara Tiwah
Diawali dengan musyawarah para Bakas Lewu , yang hasilnya diumumkan bahwa dalam waktu dekat akan diadakan Upacara Tiwah , sehingga siapapun yang berniat meniwahkan keluarganya mengetahui dan dapat turut serta. Setelah diumumkan, siapapun yang ingin bergabung terlebih dahulu harus menyatakan niatnya dengan menyebutkan jumlah salumpuk liau yang akan diikutsertakan dalam upacara Tiwah. Setelah pendataan jumlah salumpuk liau yang akan bergabung untuk diantarkan ke Lewu Liau, barulah ditentukan dengan pemilihan siapa dari para Bakas Lewu yang pantas menjadi “Bakas Tiwah” .
Setelah pemilihan Bakas Tiwah, barulah pembicaraan lebih detail dilaksanakan. Detail pembicaraan antara lain menyangkut jumlah kesanggupan yang akan diberikan oleh pihak-pihak keluarga yang telah menyatakan diri akan bergabung. Kesanggupan itu menyangkut masalah konsumsi, hewan-hewan yang akan dipersembahkan sebagai korban juga bersama memutuskan siapa pelaksana Upacara Tiwah itu nantinya, apakah Mahanteran atau Balian.
Di samping ditawarkan kebutuhan-kebutuhan upacara Tiwah sesuai dengan kemampuan masing-masing keluarga salumpuk liau, masih ada beberapa persyaratan yang wajib harus disediakan oleh pihak keluarga. Salah satunya, minimal wajib menyediakan seekor ayam untuk setiap Salumpuk liau. Upacara diadakan di rumah Bakas Tiwah, dengan waktu pelaksanaan ditentukan musyawarah. Pada hari yang ditentukan, semua keluarga berkumpul di rumah Bakas Tiwah.
Hari pertama :
Upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk rumah yang dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya dalam satu hari. Persyaratan yang harus dipenuhi ialah seekor babi yang harus dibunuh sendiri oleh Bakas Tiwah. Setelah Balai Pangun Jandau selesai dibangun, Bakas Tiwah melakukan Pasar Sababulu yaitu memberikan tanda buat barang-barang yang akan digunakan untuk upacara Tiwah nantinya dan menyediakan Dawen Silar yang nantinya akan digunakan untuk Palas Bukit.
Hari kedua :
Hari kedua mendirikan Sangkaraya Sandung Rahung yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah, gunanya untuk menyimpan tulang belulang masing-masing salumpuk liau. Setelah itu seekor babi dibunuh diambil darahnya untuk memalas Sangkaraya Sandung Rahung. Di sekitar Sangkaraya Sandung Rahung dipasang bambu kuning dan lamiang atau Tamiang Palingkau, juga kain-kain warna kuning dan bendera Panjang Ngambang Kabanteran Bulan Rarusir Ambu Ngekah Lampung Matanandau.
Di hari kedua ini alat-alat musik bunyi-bunyian seperti gandang, garantung, kangkanung, toroi, katambung dan tarai mulai dibunyikan. Namun terlebih dahulu semua peralatan musik, juga semua perkakas yang akan digunakan dalam upacara Tiwah dipalas atau disaki dengan darah binatang yang telah ditentukan.
Pada hari itu pula seorang Penawur mulai melaksanakan tugasnya menawur untuk menghubungi salumpuk liau yang akan diikutsertakan dalam upacara Tiwah tersebut agar mengetahui dan memohon izin kepada para Sangiang, Jata, Naga Galang Petak, Nyaring, Pampahilep. Juga pemberitahuan diberikan kepada Sangumang, Sangkanak, Jin, Kambe Hai, Bintang, Bulan, Patendu, Jakarang Matanandau.
Mereka yang hadir dalam acara tersebut berbusana Penyang Gawing Haramaung, Baju Kalambi Barun Rakawan Salingkat Sangkurat, Benang Ranggam Malahui, Ewah Bumbun dengan memakai ikat kepala atau Lawung Sansulai Dare Nucung Dandang Tingang, serta di pinggang diikat dohong Sanaman Mantikei. Pada leher dikalungkan Lamiang Saling Santagi Raja. Ketika bendera dinaikkan di atas sangkaraya, mereka yang hadir baik laki-laki atau perempuan, tua, muda, berdiri mengelilingi sangkaraya, dilanjutkan Menganjan untuk menyambut dan menghormati para Sangiang yang telah hadir bersama mereka untuk mengantarkan Salumpuk liau menuju Lewu Liau.
Hari ketiga:
Pada hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya. Kemudian tarian Manganjan diawali oleh tiga orang yang berputar mengelilingi Sangkaraya. Semua bunyi-bunyian saat itu ditabuh, pekik sorak kegembiraan terdengar disana-sini, suasana meriah riang gembira. Pada hari itu beras merah dan beras kuning ditaburkan ke arah atas. Setelah Menganjan selesai, mulailah acara membunuh binatang korban. Darah binatang yang dibunuh dikumpulkan pada sebuah sangku dan akan digunakan untuk membasuh segala kotoran. Diyakini bahwa darah binatang yang dikorbankan tersebut adalah darah Rawing Tempun Telun yang telah disucikan oleh Hatalla.
Kemudian darah tersebut digunakan untuk menyaki dan memalas semua orang yang berada dalam kampung tersebut, juga memalas batu-batuan, pangantuhu, minyak sangkalemu, minyak tatamba, ramu, rakas, mandau, penyang, karuhei, tatau serta semua peralatan yang digunakan dalam upacara Tiwah itu. Di samping untuk memalas, darah binatang korban tadi juga dicampur beras, kemudian dilemparkan ke atas, serta segala penjuru, juga ke arah mereka yang hadir dalam upacara. Dengan melempar beras yang telah dicampur darah Rawing Tempun Telun tersebut diharapkan semua jadi baik, jauh dari segala penyakit dan gangguan, panjang umur dan banyak rezeki.
Hari ke empat
Pada hari empat ini diyakini bahwa Salumpuk liau pun turut hadir serta aktif berperan serta dalam perayaan Tiwah tersebut namun kehadirannya tidak terlihat oleh mata jasmani. Salumpuk liau jadi semakin bahagia dan gembira ketika para keluarga, baik ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek neneknya hadir berkumpul di situ, dan menemui mereka yang hadir dalam perayaan tersebut, mereka menggosokkan air kunyit ke telapak tangan dan kaki mereka yang hadir, menuangkan minyak kelapa di kepala para tamu, sambil menuangkan baram dan anding serta menawarkan ketan, nasi, kaki ayam, serta lemak babi yang diakhiri dengan menyuguhkan rokok dan sipa.
Setelah itu di dekat Sangkaraya didirikan tiang panjang bernama Tihang Mandera yang maknanya pemberitahuan kepada siapapun yang datang ke kampung tersebut bahwa dalam kampung tersebut sedang berlangsung pesta Tiwah, berarti kampung tersebut tertutup bagi lalu lintas umum. Mereka yang belum memenuhi persyaratan yang harus dilakukan dalam pesta Tiwah, antara lain belum disaki atau dipalas dilarang menginjakkan kaki di kampung itu. Tidak mentaati aturan, resiko tanggung sendiri. kemungkinan ditangkap, pada hari itu pula dibunuh lalu ditaruh di Sangkaraya, dipotong kepalanya sebagai pelengkap upacara Tiwah.
Kemudian seorang penawur duduk di atas gong, sambil manangking Dohong Nucung Dandang Tingang. Pertama-tama penawur berkomunikasi dengan semua orang yang telah meninggal dunia untuk memberitahukan bahwa mereka yang nama-namanya disebut akan diantarkan ke Lewu Liau. Kemudian berkomunikasi dengan para Sangiang, Jata, untuk memohon perlindungan bagi semua sanak keluarga salumpuk liau yang ditiwahkan serta para hadirin yang hadir dalam upacara tersebut agar dijauhkan dari sakit penyakit serta jauh dari kesusahan selama terlaksananya upacara Tiwah tersebut.
Komunikasi selanjutnya ditujukan kepada setan-setan, kambe dan jin-jin agar tidak mengganggu jalannya upacara, jangan sampai terjadi kematian mendadak, orang terluka, sakit, jangan terjadi tulah malai dan jangan sampai terjadi perkelahian. Setelah itu Antang penghuni Tumbang Lawang Langit dipanggil untuk mengamati, serta menjaga kemungkinan datangnya musuh yang berniat mengganggu proses pelaksanaan upacara sakral tersebut. Setelah itu burung elang datang dan terbang melayang-layang di diatas tempat upacara Tiwah berlangsung untuk mengawasi suasana serta menjaga keamanan kampung itu.
Kemudian pada bangunan Balai Pangun Jandau diletakkan sebuah gong yang berisi beras kuning, rokok, sirih, maksudnya sebagai parapah bagi tamu-tamu dan para ahli waris Salumpuk liau yang sedang di-tiwah-kan juga diikat Sulau Garanuhing.
Selanjutnya penawur berkomunikasi kepada Gunjuh Apang Pangcono yaitu “Raja Pali“ Sang Penguasa segala bentuk larangan yang harus ditaati penduduk bumi. Pemberitahuan dan permohonan izin pelaksanaan Tiwah yang dilaksanakan selama tujuh atau empat puluh hari dimaksud untuk menghindari kesalahpahaman Raja Pali akan peristiwa sakral tersebut.
Proses selanjutnya didirikan Hampatung Halu, yang diikat sebutir manik hitam dengan tengang beliat yang ditanam pada tanah perbatasan kampung dimana upacara Tiwah sedang dilangsungkan dengan perkampungan lain yang tidak sedang mengadakan upacara Tiwah. Sejak hari itu hukum pali mulai dilaksanakan oleh para ahli waris Salumpuk liau. Batas waktu pelaksanaan hukum pali telah ditentukan yang artinya bukan selamanya.
Adapun larangan-larangan itu adalah sebagai berikut :
1. Pali makan rusa – dilarang makan rusa.
2. Pali makan kijang.
3. Pali makan kancil/pelanduk
4. Pali makan kelep dan kura-kura.
5. Pali makan kera.
6. Pali makan Beruk
7. Pali makan Buhis
8. Pali makan Kalawet
9. Pali makan Burung Tingang /Burung Enggang.
10. Pali makan Burung Tanjaku.
11. Pali makan Ahom.
12. Pali makan Mahar.
13. Pali makan Ular.
14. Pali makan Tahatung.
15. Pali makan Angkes.
16. Pali makan buah rimbang.
17. Pali makan daun keladi.
18. Pali makan ujau.
19. Pali makan dawen bajai- daun bajai.
Selain larangan menyantap beberapa jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan, juga ada pali berkelahi. Bila terjadi perkelahian maka mereka yang berkelahi wajib membayar denda kepada Bakas Tiwah Jipen ije dan kewajiban potong babi, darah babi digunakan untuk menyaki mereka yang berkelahi.
Hari keempat :
Kanjan diawali oleh empat orang.
Hari kelima :
Hari ini Pantar Tabalien didirikan. Pantar Tabalien yaitu jalan yang akan dilalui salumpuk liau menuju Lewu Liau, berbentuk tiang yang terbuat dari kayu ulin atau kayu besi yang menjulang tinggi ke atas, dengan tinggi mencapai 50 sampai 60 meter dari tanah.
Pada hari ini pula hewan-hewan yang dikorbankan yaitu kerbau atau sapi diikat di sapundu dan mereka yang hadir mengelilingi sapundu tersebut, menganjan tanpa henti baik siang maupun malam. Saat itu pula Sandung dan Pambak tempat menyimpan salumpuk bereng mulai dibuat, yang setelah siap terlebih dulu dipalas dengan darah kerbau, sapi atau babi. Kemudian selama tujuh hari Sandung tersebut dipali yaitu selama tujuh hari mereka yang lalu lalang di kampung tersebut terkena pali dan wajib menyerahkan sesuatu miliknya berupa benda apa saja untuk menetralisir pali yang menimpanya. Kemudian Talin Pali diputuskan.
Sebuah Tajau atau belanga dengan ukuran besar dan mahal harganya diletakkan disamping patung besar yang terbuat dari kayu, namanya Sandaran Sangkalan Tabalien, Ingarungkung dengan Lalang Pehuk Barahan. Keyakinan suku Dayak belanga berasal dari langit ketujuh oleh karena itu siapapun yang ingin diantar ke Lewu Liau yang terletak di langit ketujuh wajib memenuhi persyaratan sebuah belanga, dan tentu saja juga menyediakan binatang-binatang korban karena sejak hari ke lima dan seterusnya akan banyak masyarakat berdatangan, berkumpul, bergabung menganjan mengelilingi hewan-hewan yang akan dikorbankan, baik siang maupun malam untuk menghormati Salumpuk liau yang segera akan dihantar ke tujuan. Keperluan masak memasak lebih dilengkapi lagi, bambu dan daun itik mulai dikumpulkan karena makanan akan dimasak di dalam bambu, kemudian dibungkus dengan daun itik.
Puncak Upacara
Terlebih dahulu oleh Bakas Tiwah, Basir dikenakan pakaian khusus yang memang telah dipersiapkan untuk upacara. Penawur dan masyarakat yang hadir untuk menyaksikan upacara telah berkumpul di Balai. Basir dan Balian didudukkan diatas Katil Garing dan siap memegang sambang/ ketambung . Posisi duduk Basir di tengah dan diapit oleh dua orang, serta empat orang duduk di belakangnya. Penawur mengawali Tatulak Balian yang artinya buang sial, maksudnya membuang segala bencana yang mungkin terjadi selama prosesi sakral berlangsung.
Salah satu persyaratan yang diminta oleh Hatalla dengan perantaraan Rawing Tempun Telun kepada mereka yang melaksanakan upacara Tiwah ialah sifat ksatria, memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang menyerah. Sikap ini diekspresikan dengan datangnya sebuah Lanting Rakit dari sebelah hulu. Kedatangan rombongan tamu saat upacara Tiwah dengan membawa binatang-binatang korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam, tidak begitu saja diterima. Mereka yang datang, terlebih dahulu di uji keberaniannya.
Begitu rombongan tamu turun dari lanting rakit yang ditumpangi, mereka disambut dengan laluhan, taharang dan manetek pantan. Batang kayu bulat yang panjangnya dua meter, diikat melintang pada tiang setinggi pinggang dan diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Kepada tamu yang datang, Bakas Tiwah bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang, tujuan kedatangan juga nama dan jenis binatang yang dibawa.
Kemudian rombongan tamu akan menjawab pertanyaan tersebut bahkan tidak lupa menceritakan tindak kepahlawanan yang pernah mereka lakukan. Untuk membuktikan kebenaran perkataan mereka, Bakas Tiwah meminta kepada para tamunya untuk memotong kayu penghalang yang ada di depan mata mereka. Bila mampu memotong hingga patah berarti benar mereka adalah para ksatria yang memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa pantang menyerah, baru kemudian mereka dipersilahkan bergabung.
Hari ketujuh yang disebut hari manggetu rutas pakasindus yaitu hari melepaskan segala kesialan kawe rutas matei, pada hari ketujuh inilah salumpuk liau mengawali perjalanan menuju Lewu Liau diawali dengan penikaman dengan menggunakan tombak atau lunju pada binatang korban yang telah dipersiapkan, dan diikat di sapundu tempat dimana masyarakat yang hadir telah menganjan siang malam tanpa henti.
Tidak setiap orang diperkenankan menikam binatang korban, semua ada aturannya.
Cara pertama :
1). Bakas Tiwah menikam lambung kanan, dinamakan kempas bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kanan dari binatang yang ditombaknya.
2). Seorang perempuan ahli waris salumpuk liau, bekas tikamannya disebut pekas bunuhan. Ia berhak mendapatkan paha kiri dari binatang yang telah ditombaknya
3). Salah seorang wakil masyarakat yang hadir dalam upacara. Bekas tikamannya disebut timbalan bunuhan. Ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang korban yang telah ditombaknya.
Cara kedua :
1). Tikaman pertama dilaksanakan oleh Bakas Tiwah, kemudian ia berhak menerima paha kanan binatang yang telah ditombaknya.
2). Tikaman kedua oleh kepala rombongan yang datang dengan lanting rakit dan telah berhasil memotong pantan, ia berhak mendapat paha kiri binatang yang ditombaknya.
3). Tikaman ketiga oleh Bakas Lewu, kemudian ia berhak mendapatkan dada dan jantung binatang yang ditombaknya.
Disusul dengan Kanjan Hatue yaitu tarian kanjan yang hanya dilakukan oleh laki-laki. Selesai kanjan hatue dilanjutkan acara masak memasak mempersiapkan makanan untuk Sangiang, Nyaring, Pampahilep, Sangkanak, kambe, burung bahotok, burung papau, burung Antang.
Ada ketentuan cara memberi makan kepada mereka yang tidak terlihat mata jasmani yaitu dilempar ke arah bawah ditujukan kepada salumpuk liau yang sedang diantar ke Lewu Liau, lemparan ke arah kanan ditujukan kepada Raja Untung dan para Sangiang. Lemparan ke arah belakang ditujukan kepada Raja Sial. Kemudian diulangi lagi, ke arah belakang ditujukan kepada Sangumang dan Sangkanak, ke arah atas ditujukan kepada Bulan, Bintang, Matahari, Patendu, Kilat dan Nyahu. Selesai acara pemberian makan kembali masyarakat yang hadir berkumpul.
Tibalah saatnya salumpuk bereng digali/diambil dari tempat penyimpanan sementara. Tulang belulang yang ditemukan dikumpulkan, dan pada hari itu pula dimasukkan dalam tambak atau pambak atau sandung . Kemudian pantar didirikan dan dilanjutkan hajamuk atau hapuar. Upacara dianggap selesai apabila seluruh prosesi upacara telah dilaksanakan lengkap, dengan demikian keluarga yang ditinggalkan merasa lega karena telah berhasil melaksanakan tugas dan kewajibanya kepada orang-orang yang dicintai. Salumpuk liau telah sampai ke tempat yang dituju yaitu Lewu Liau.
Setelah hari ketujuh, Basir dan Balian diberi kesempatan beristirahat namun hanya sehari saja karena setelah itu acara akan dilanjutkan lagi selama tiga hari berturut-turut. Maksud acara lanjutan yang juga dilengkapi dengan potong babi, minum tuak/baram adalah ungkapan rasa syukur dan terima kasih oleh ahli waris salumpuk liau kepada para tamu yang telah hadir bersama mereka. Terima Kasih dan selamat jalan, itulah ungkapan yang ingin mereka sampaikan. Kepada Rawing Tempun Telun tidak lupa mereka selalu mohon perlindungan. Pada hari yang sama diadakan juga acara Balian Balaku Untung yaitu dengan perantaraan Rawing Tempun Telun mohon rezeki kepada Hatalla.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada Basir, Balian, Mahanteran dan Penawur yang telah terlibat aktif sebagi perantara dalam semua prosesi upacara demi mengantarkan salumpuk liau ke lewu liau, tanda mata diberikan kepada mereka, bahkan ketika mereka yang melaksanakan upacara akan pulang ke kampung dan rumah mereka masing-masing, masyarakat yang telah turut hadir dalam upacara Tiwah berbondong-bondong mengantarkan mereka sampai ketempat yang dituju.
Balian Balaku Untung
Merupakan salah satu upacara adat yang bertujuan meminta umur panjang, banyak rezeki serta mendapat berkat dari Ranying Hatalla. Permohonan kepada Hatalla tersebut mereka lakukan dengan perantaraan Rawing Tempun Telun yang dalam upacara Balian Balaku Untung disebut Mantir Mama Luhing Bungai.
Dalam upacara ini persyaratan yang lazim disediakan ialah bawui buku baputi atau babi kerdil yang berwarna putih. Namun boleh juga kerbau atau sapi. Setelah segala macam persyaratan dan sesajen disiapkan, upacara segera dimulai. Diawali dengan seorang penawur, yang dengan sarana beras, menabur-naburkan beras ke segala arah. Dengan perantaraan seorang penawur, mereka memohon kepada roh beras yang ditawurkannya untuk menyampaikan kepada Mantir Mama Luhing Bungai agar bersedia turun ke bumi untuk menyampaikan persembahan mereka kepada Penguasa Alam.
Tidak lupa dengan perantaraan penawur pula mereka memohon izin kepada salumpuk liau atau jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia bahwa di bumi sedang diadakan upacara Balian Balaku Untung. Juga disebutkan alasan upacara tersebut mereka adakan. Adapun alasannya karena sebagai manusia yang masih harus melanjutkan hidupnya di Pantai Danum Kalunen, mereka masih membutuhkan rezeki dan umur panjang.
Setelah roh beras yang ditawurkan naik menuju ke tempat Mantir Mama Luhing Bungai di Batang Danum Jalayan di langit ketiga yaitu di negeri Batu Nindan Tarung, pesan dan tujuan dilaksanakannya upacara adat tersebut disampaikan. Setelah dipahami maksud dan tujuannya, kemudian beberapa Sangiang mengambil alih tugas tersebut. Sangiang-sangiang itulah yang nantinya menjadi perantara manusia menuju Tahta Ranying Hatalla.
Para Sangiang yang sering kali terlibat dalam melaksanakan tugas tersebut, antara lain:
1. Mantir Mama Luhing Bungai.
2. Raja Tabela Basandar Ranjan Kanarohan Rinyit Kangantil Garantung.
3. Tarung Lingu, Kanyumping Linga, Asun Tandang Panangkuluk Enteng.
4. Bulan Pangajin Sambang Batu Bangkalan Banama.
5. Balu Indu Iring Penyang.
6. Haramaung Lewu Danum Jalayan.
7. Pambujang Linga.
8. Pambujang Hewang.
Sangiang-Sangiang yang bersedia menjadi perantara tersebut akan langsung turun ke bumi dan memasuki rumah tempat upacara dilaksanakan. Mereka tidak lama berada di rumah tersebut karena harus segera mengantarkan korban persembahan serta permohonan manusia ke hadirat Penguasa Alam. Mereka naik ke atas menuju langit ketujuh dengan melalui empat puluh lapisan embun.
Setelah melewati empat puluh lapisan embun, barulah mereka mencapai langit pertama, lalu langit kedua dan seterusnya. Setiap langit ada penjaga pintu gerbang, dan setiap penjaga gerbang berhak pula menerima sesajen yang khusus telah disiapkan bagi mereka. Apabila sesajen diterima dengan baik, lalu mereka menukar sesajen tersebut dengan Bulau Untung Panjang . Lalu mengutus salah seorang dari penjaga pintu gerbang setiap lapisan langit bergabung dalam rombongan untuk turut serta mengantarkan Bulau Untung Panjang menuju Tahta Ranying Hatalla.
Dengan demikian setiap melewati lapisan langit, jumlah rombongan menjadi semakin besar karena dari setiap langit yang dilalui, seorang sangiang akan turut serta. Dengan demikian setelah mencapai langit keenam, jumlah rombongan sangiang yang dipimpin oleh Rawing Tempun Telon atau Mantir Mama Luhing Bungai telah bertambah enam orang. Menjelang pintu ke tujuh, Raja Anging Langit telah menunggu di depan pintu gerbang langit ke tujuh untuk mengucapkan salam. Bersama Raja Anging Langit, turut serta Indu Sangumang yang nantinya akan bertugas mengetuk Pintu Tahta Kerajaan Ranying Hatalla.
Setelah memasuki pintu langit ketujuh, lalu ke Tasik Malambung Bulau, Tumbang Batang Danum Kamandih Sambang, Gohong Rintuh Kamanjang Lohing tempat tinggal Tamanang Handut Nyahu dan Kereng Tatambat Kilat Baru Tumbang Danum Nyarangkukui Nyahu Gohong Nyarabendu Kilat, tempat Raja Sapaitung Andau. Baru kemudian menuju Bukit Bulau Nalambang Kintan Tumbang Danum Banyahu.
Setelah itu menuju Bukit Tunjung Nyahu Harende Kereng Sariangkat Kilat. Disinilah Banama Tingang , kendaraan berbentuk perahu yang mereka tumpangi berhenti. Hanya tiga dari rombongan Sangiang tersebut yang melanjutkan perjalanannya menuju Tahta Ranying Hatalla.
Mereka adalah :
1. Mantir Mama Luhing.
2. Raja Tunggal sangumang.
3. Indu Sangumang.
Anggota rombongan lainnya hanya sampai di tempat tersebut dan harus bersabar menantikan ketiga temannya melanjutkan perjalanan menuju Tahta Ranying Hatalla. Sambil membawa Bulau Gantung Panjang atau Batun Bulau Untung yang telah diserahkan oleh para penjaga lapisan langit, ketiganya menuju ke tempat Raja Sagagaling Langit di Bukit Bagantung Langit, untuk membersihkan Bulau Batu Untung yang mereka bawa tersebut.
Dari tempat itu mereka pergi lagi menuju Bukit Garinda Hintan tempat Angui Bungai Tempulengai Tingang, lauk Angin Manjala Buking Tapang untuk mangarinda Bulau Batu Untung. Setelah itu dengan menumpang Lasang Nyahu, yaitu sejenis perahu yang melaju cepat, mereka menuju Bukit Hintan Bagantung Langit tempat kediaman Raja Mintir Langit. Di sana mereka membuka gedung tujuh tempat Putir Sinta Kameluh ( . . . tidak terbaca, ns).
Lalu Indu Sangumang mengetuk pintu, kemudian masuk dan menghadap Singgasana Ranying Hatalla. Indu Sangumang memohon berkat bagi Bulau Batu Untung (. . . tidak terbaca, ns.) setelah berkat diberikan mereka kembali menuju arah Bukit Tunjung Nyahu, dan di tempat tersebut telah menunggu 40 Mantir Untung yang langsung meletakkan Bulau Batu Untung pada kendarah cinta kasih yang tak dapat direnggangkan oleh kekuatan apapun jua. Dengan demikian proses tugas para Sangiang telah selesai dan mereka kembali ke dunia dengan melalui tujuh lapisan langit, empat puluh lapisan embun, langsung menuju rumah di mana upacara sedang berlangsung.
Setelah menjelaskan segala sesuatunya kepada perantara dalam hal ini balian, maka para Sangiang pamit untuk kembali ke tempat mereka masing-masing, namun terlebih dahulu mereka menyantap sesajen yang telah disediakan khusus bagi mereka pada sebuah kamar.
Untuk pengecekan apakah permohonan tersebut dikabulkan atau ditolak dengan cara sebagai berikut:
Sebelum upacara dimulai, disediakan rotan yang panjangnya tujuh depa dan beras tujuh sukat. Panjang rotan benar-benar telah diukur oleh tukang tawur atau balian, panjangnya tujuh depa dengan disaksikan oleh banyak orang. Begitu pula beras sebanyak tujuh sukat. Setelah upacara selesai, diadakan pengecekan ulang. Apabila ukuran rotan menjadi lebih panjang yaitu lebih dari tujuh depa seperti hasil pengukuran semula, begitu juga jumlah beras lebih dari tujuh sukat, berarti permohonan mereka diterima dengan baik. Permohonan telah dikabulkan. Akan tetapi apabila setelah diukur kembali panjang rotan kurang dari tujuh depa, begitu pula jumlah beras kurang dari tujuh sukat, berarti permohonan mereka ditolak.
Manawur Tamparan Munduk Balian Hapan Tiwah
(Bahasa Dayak Ngaju)
Bara solak tamparan munduk balian, palus mimbing behaas ietuh : Ehem behas, harenjet ganan, hai ganan, belum nantuguh labatang entang bulau, datuh labate habaring jari hampit riwut manyan Raja. Nyimak saturi malayu, Hapan juyang bangkang halelan tingang, runting tajahan burung nampasut, kilau nampasut tingang ije kadadang, nampuras tingkah nampuras bungai ije kapating, malugaku bitim kilau banama nyandang liara nampilaku balitam, netek ajung hatalumbang jadri hampalua uluh pantai danum kalunen bara balanai bintan penyang, nampahanjung luwuk kampungan bunu, bara busi renteng bapampang pulu, ie babalai sansiri koenjat antang, basali mangkuk sarangiring laut.
Kuntep kamaras, ban penu kaningagang sara dia jaka teburan garing tabela belum, dia jaka penankekei, bara usuk lisum pananjuri bara wain tapan, Terai nduan tambekan etuh ijamku enteng nasihku hanyim, nyahungku indum luang reawei, panati danum kalunen, akan jamban payaruhan tisue luwuk kampungan bunu, nyahuangku bitim, antang manamuei manajah riak renteng tingang, raja tabela basandar ranjang.
Nyangkabila balitan kenyui mangaja, mantilung kanaruhan ringgit, kangatil garantung, Katabelan oleh balai mihing nyapundu runjan anak Sali nyalung marusuk hintan, nyahuan ie tingang hadurat lunuk, akan pantai danum kalunen, nyangkabilae tambun nyalentur labehu, akan luwuk kampungan bunu, ije puna hampang jawah hempeng, palumpang langit busun kenyui juhai hanyi, panasiran Hawun. Ije mapan batu jadi randung banama namburak karangan jari talin pambuhui riwut hanya mananteng hanyin, burung lingu kanyumping linga, ason tandang panangkului enteng uluh lewu danum jalajan, uluh rindang labehu pali tuntang kare bulau pangajin sambang batu bangkalan banama. Balu indu iring pinang, uluh lewu danum jalayan, hayak manenteng hanyin katabelan uluh balai ltuyang katabelan uluh balai suling bulau, katabelan uluh balai entas,katabelan uluh balai nyaho, telu puluh ruang tuntang katabelan uluh balai Palangka nambulang tambun, anak salibayung antang, mahutu Penyang, uras nyahuan usang, hadurut lunuk hayak mandurut papan talawang mahapan tantang burung dahiang, malentui gentui daren lintung, hapaharis rayung baya tandak, lapik banama antng manamuei tapeting ayung, kenyui mangja.
Ie jari bitim behas, jadi barakandung peteh, pantai danum kalunen, entan bulau, batiang janjin, luwuk kampungan bunu, jadi peteh manyiret. Kilau lanting darai janji manalan. Mampahulang naharantung nyalung, te kareh tandakm panjang, halawu bumbung dawen purun, karungutm ambu harenda pandung, bulau tambun , jadi sukup tuntur, kilau bulan bele manyinai nenteng sukup palakue tingkah pahawang nangkunyahe tatau. Kilat baputi dia kanatah hintan, hijir bahenda dia nanggalung bulan, tawurku belum baun pingan rungan etan bulau bahanjung mangkuk saramurung laut, bahing jarambang, nipas marung garing gantungan, pusuk rawung bambau ukei, hayak enum bandadang, te palus manjakah behas tuh auch :
Ije, due, telu, epat, lime, jahawen, uju ije kalabien ketun sintung uju due kalambungan ketun lambung hanya, te palus manekap katambung, nampara nampulilang liau.
Toh ie auch :
Liiiiii liala – liaang liau matei randang are mananjung ambun. Saran kuwu bajumbang nihau nambahui rahu nawan bulan, palus teneng tendur gandang nyaring menteng randah are babalai bungking lunuk, rintuh rinau, tuwung siakung tatau, basali tanduh babulung bulau, mikeh are bunu baletuk ngandang andau panurean dare, talawang, batesei manturana pakaluyang bulau, are timpung jari tampahar harus laut, unduk ampah tanjung ambun buang, bulau balemu mantap kasalananggalung petak sintel manajung halentur liau, mahapan pahulanger bulan, tiling petak jajulana kahem pahulanger bulan nyaluluk. Te palus teneng gandang tambun jete, hapamuntung luang kalang labehu handalem rintuh rinau tuwung ihing . . . Hatalla baparung rangkang huang danum, sama manetep tuwung tambun rayung tatau, manipas ulek lawin lanting raja. Mangat sama ela balisang panjang ije gawang tingang rata ela balakas ambu, dinun due kasambutin antang awang matei hila ngaju, nasat kabangkang nayu-nayu, hasapau dawen birun bukit, hatingkap pusuk rahing tarung, awang matei junjun helu, nihau tutuk panambalun tambun, jadi nyahuangku buli batang danum katimbungan nyahu, gohong santik malelak bulau, tanjung rahu ngalingkang bulan halaliangku buli sandung garing, kamalesan karatu lumpung matanandau, bahalap nyapau pisih rarindap langit kamalipir burung piak liau, hakalusang patung.
Nyamping bulan lembut nyarahan andau pandang, pandang kaninding saramin sina rarajak saruk suling ringun tingang, kalalambang tambun, mateiu lunjang lenjut. Kanalantai lamiang kanungket bajihi tambun, bajihi bulau tarahan tawe-tawe manyamei halampat nyahu nangkuang burung piak liau hatarusan pantung baya tau mansanam kaban lumpat lawang langit ie gagahan Telun mama Tambun bunu kandayu lanting jahawen, kanyaki liau Randin tandang, meto rama batanduk garing, bahalap bajela rohong bakadandang uru jejerupan perun tambun.
Awang matei ,nambit mambahete halaiyangku buli bukit pasahang braung, kamalesang kereng rohanjang tulang, buli pampang raung, kamelasang kereng buli hatelangkup rabia, kanarah hanjaliwan matei lunjang lenjut, kanahintip talampe, tapalumpang limpet.
Bahalap nyaluang, uei ringka, pakur layang antang, nambaji garing handue uju hansasulang, kabantikan asai menteng ije tawae, jalan liau matei nabasan dohong, nakaje andau bunu nalanjat pandange , sama netep garing kapandukae munduk jiret sihung kabahena, kabahena bajanda, ela naharantung bahing pantung sambang, ela nyampilek bambi hengan lohing belum tumbang kapanjungan panjung, haring saluhan antang nahuei, bakulas aku muta tingang, parakanan renteng bantus manela bungai hajanjala tundu-tundu balaku badandang lantaran tanjung Ambun, jalangku manjurung tawur namuei langit balalu batehan laberuh luwuk enon, sandung danun dua kapamarau langit, tanduhangku mangkat entan bulan mangaja lambang bulau bara gantung totok timung tandak, liau matei sambile mangantau sambung santin karunya bapilu nihau ulang bajambilei, hindai aku mungkang tandakm, tawur ije halawu bumbung daren purun hindai menjung karungut etan bulau harende pandung, balau tambun –te palus malik tinai tekap sambang, te toh iye auch :
Manturan behas te iyoh-iyoh bitim tawur ela tarewen matei halawu bumbung daren purun, ela sabanen ajung hatilalian hariran etan bulan, harende pandunge balau tambun, basa tawangku panamparan belum, bara hemben horan.
Patiana pamalempang bara zaman totok panambalon tambun puna bitim behaas pantis kambang kabanteran bulau balitam etam bulau tahutun lelak lumpung matanandau, pantis kambang garing manyangen, ie hajamban teras kayu engang tingang hatatean lohing kayu anduh nyahu ie halalawu bukit kagantung gandang harenda kereng nunyang, malangka langit. Palus nangkalume putir Selung Tamanang ewen ndue Raja Nangking langit, mijen timpung uju hatantilap pahangan hanya hatalamping, ie palus hajanjuri hanjak, nyahu mangaruntung langit, panatekei humba kilat malambai ambun kapamalem malentur balitam, totok tambalun tambun hayak enon haganggupa ie palus kaput biti alem, pain bukit tunjung nyahu lilap, hanggupa tanda puruk kereng sariangkat kilat halawu. Petak sintel hambalambang tambun, harenda riang dedet habangkalan garantung. Belum tandah hakaluwah nyakelang uru jajarupen purun tambun, haring lamabat hambalaun nyampali, kanarah lintung talawang, ie duam kauju andau, belum nahabulun urung, naring tingkah singan behau belum runja-runjat ampin bilis manyang mananjak, pangarawang baun tiwing panjang hari tapu-tapu tingkah sahempun pasang bara tumbang danum, ie palus mandawen handadue manumbung dinun hatantelu, palus karimahan soho manggandang bara jalayan bulu, danum nyamuk pasang bara tumbang danum. Kueh maku leteng kambang nyahun tarung, puna bitim hai kuasam belum, tampan jata bara huang danum, enon suka nilap batu kilat tinting balitam datuh jema hamaring, puna selung Hatalla bara lawang labehu langit, ie umbet kanumpuh bujang, sedang handiwung kesampelau belum, te palus hatarung pulu ngalingkang pulau, luntur bahandang batinting lima balas.
Akan batang danum ngabuhi bulau burung tumpah bua nyembang hatuen burung kajajirak laut, palus mandung bitim marantep kilau hendan bulau, nangkuyang bilatamu nahajib tingkah lanting rabia, te bukum jadi handiwung pakandung pusue, sawang bapangku anak, pandung malelak bulau, ie umbet bula katugalam belum sadang bintang patendum hamaring.
Ie rawei banama baongkar puat, ajung jawu dagange handiwung banbaukei pusu pundung malelak bulau, bauhat rentai nyangkabilan bawak nambuku tisim, galigir bintang, nambatang suling, ringun tingang, mandawen simbel bulau bakatantan jari bulau jandau. Ie mangambang bulau, taparuyang rayuh, malelak hintan tapang rundang rundai babehat babatu pating, bateras nyalung Kaharingan belum. Baluhing gohong, paninting aseng, ie rawei awang hatue kamampan bunu nantaulah anju tanjuren teken.
Hababiyan karayan tantanjuk rangkan , bapa manambang bitim kilau manambang banana manungkah laut, manangkep balitam, ruwan manangkep ajung hatatean hareran.
Ie palus rawei masak manalajan pating ripu mangantien tundu palus nangkung nangkuluk gentu nanpung penyang. Nundun balitam tingkah nundum paturung, ie lentu-lentu oleh tingang tempun hemben horan naji-najing antang sangiang totok tambalun tambun palus nagaggre gangguranan arae, nasuwa sebutan bitim, ie parei, tangkenya mampan baun tiowong panjang parei karumis mampan jalan, parei tanjujik helang uhat
About these ads

Makna Tato Bagi Masyarakat Dayak Kalimantan


Jangan kaget jika masuk ke perkampungan masyarakat dayak dan berjumpa dengan orang - orang tua yang dihiasi berbagai macam tato indah di beberapa bagian tubuhnya. Tato yang menghiasi tubuh mereka itu bukan sekedar hiasan, apalagi supaya dianggap jagoan. Tetapi, tato bagi masyarakat dayak memiliki makna yang sangat mendalam.
Tato bagi masyarakat etnis dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Karena itu, tato tidak bisa dibuat sembarangan.

Ada atuarn - aturan tertentu dalam pembuatan tato atau parung, baik pilihan gambarnya, struktur sosial orang yang di tato maupun penempatan tatonya. Meski demikian, secara religi tato memiliki makna sama dalam masyarakat dayak, yakni sebagai "obor" dalam perjalanan seseorang dalam menuju alam keabadian, setelah kematian.

Karena itu, semakin banyak tato, "obor" akan semakin terang dan jalan menuju alam keabadian semakin lapang. Meski demikian, tetap saja pembuatan tato tidak bisa dibuat sebanyak - banyaknya secara sembarangan, karena harus mematuhi aturan - aturan adat.

Setiap sub-suku dayak memiliki aturan yang berbeda dalam pembuatan tato. Bahkan ada pula sub-suku dayak yang tidak mengenal tradisi tato, ungkap Mering Ngo, warga suku dayak yang juga antropolog lulusan Universitas Indonesia.
Bagi suku dayak yang bermukim perbatasan Kalimantan dan Serawak Malaysia, misalnya, tato di sekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, menunjukkan orang itu semakin banyak menolong dan semakin ahli dalam pengobatan.

Bagi masyarakat Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato menggambarkan orang tersebut sudah sering mengembara. Karena setiap kampung memiliki motif tato yang berbeda, banyaknya tato menandakan pemiliknya sudah mengunjungi banyak kampung.
Jangan bayangkan kampung tersebut hanya berjarak beberapa kilometer. Di Kalimantan, jarak antar kampung bisa ratusan kilometer dan harus ditempuh menggunakan perahu atau berjalan kaki menyusuri sungai dengan waktu pengembaraan yang tidak mengenal lelah.

Karena itu, penghargaan pada perantau diberikan dalam bentuk tato ", tutur ketua II Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT ), Yacobus Bayau Lung.
Bisa pula tato diberikan kepada bangsawan. Di kalangan masyarakat dayak Kenyah, motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren ) adalah burung enggang yakni burung endemik Kalimantan yang dikeramatkan.

Adapun bagi Dayak Iban, kepala suku beserta keturunanya ditato dengan motif sesuatu yang hidup di angkasa. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk kaum bangsawan biasanya lebih halus dan sangat detail dibandingkan tato untuk golongan menengah ( panyen ).

Bagi subsuku lainnya, pemberian tato dikaitkan dengan tradisi menganyau atau memenggal kepala musuh dalam suatu peperangan. Tradisi ngayau ini sudah tidak dilakukan lagi, namun dulunya semakin banyak mengayau, motif tatonya pun semakin khas dan istimewa.

Tato untuk sang pemberani di medan perang ini, biasanya di tempatkan di pundak kanan. Namun pada subsuku lainnya, ditempatkan di lengan kiri jika keberaniannya "biasa" dan di lengan kanan jika keberanian dan keperkasaannya di medan pertempuran sangat luar biasa.
Pemberian tato yang dikaitkan dengan mengayau ini, dulunya sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan suku kepada orang - orang yang perkasa dan banyak berjasa ", tutur Simon Devung, seorang ahli dayak dari Central for Social Forestry ( CSF ) Universitas Mulawarman Samarinda.

Tato atau parung atau betik tidak hanya dilakukan bagi kaum laki - laki, tetapi juga kaum perempuan. Untuk laki - laki, tato bisa dibuat di bagian manapun pada tubuhnya, sedangkan pada perempuan biasanya hanya pada kaki dan tangan.
Jika pada laki - laki pemberian tato dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan, pada perempuan pembuatan tato lebih bermotif religius.
"Pembuatan tato pada tangan dan kaki dipercaya bisa terhindar dari pengaruh roh -roh jahat atau selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa," ujar Yacobus Bayau Lung.

Pada suku Dayak Kayan, ada tiga macam tato yang biasanya disandang perempuan, antara lain tedak kassa, yakni meliputi seluruh kaki dan dipakai setelah dewasa. Tedak usuu, tato yang dibuat pada seluruh tangan dan tedak hapii pada seluruh paha.

Sementara di suku Dayak Kenyah, pembuatan tato pada perempuan dimulai pada umur 16 tahun atau setelah haid pertama. Untuk pembuatan tato bagi perempuan, dilakukan dengan upacara adat disebuah rumah khusus. Selama pembuatan tato, semua pria tidak boleh keluar rumah. Selain itu seluruh keluarga juga diwajibkan menjalani berbagai pantangan untuk menghindari bencana bagi wanita yang sedang di tato maupun keluarganya.

Motif tato bagi perempuan lebih terbatas seperti gambar paku hitam yang berada di sekitar ruas jari disebut song irang atau tunas bambu. Adapun yang melintang dibelakan buku jari di sebut ikor. Tato di pergelangan tangan bergambar wajah macan disebut silong lejau.
Adapula tato yang dibuat di bagian paha. Bagi perempuan dayak memiliki tato dibagian paha status sosialnya sangat tinggi dan biasanya dilengkapi gelang di bagian bawah betis.

Tato sangat jarang ditemukan di bagian lutut. Meski demikian ada juga tato di bagia lutut pada lelaki dan perempuan yang biasanya dibuat pada bagian akhir pembuatan tato dibadan. Tato yang dibuat diatas lutut dan melingkar hingga ke betis menyerupai ular, sebenarnya anjing jadi - jadian atau disebut tuang buvong asu.

Baik tato pada lelaki atau perempuan, secara tradisional dibuat menggunakan duri buah jeruk yang panjang. Seiring dengan perkembangan jaman kemudian menggunakan beberapa buah jarum sekaligus. Yang tidak berubah adalah bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan jelaga dari periuk yang berwarna hitam.

Tato warna - warni yang dibuat kalangan pemuda kini, hanyalah tato hiasan yang tidak memiliki makna apa - apa. Gambar dan penempatan dilakukan sembarangan dan asal - asalan. Tato seperti itu sama sekali tidak memiliki nilai religius dan penghargaan, tetapi cuma sekedar untuk keindahan, dan bahkan ada yang ingin dianggap sebagai jagoan.

Sejarah Kalimantan


Sejarah Kalimantan menggambarkan perjalanan sejarah Pulau Kalimantan dimulai sejak zaman prasejarah ketika manusia ras Austrolomelanesia memasuki daratan Kalimantan pada tahun 8000 SM hingga sekarang.[rujukan?]

1. Zaman prasejarah

Bangsa Austronesia memasuki pulau ini dari arah utara kemudian mendirikan pemukiman komunal rumah panjang. Peperangan antar-klan menyebabkan pemukiman yang selalu berpindah-pindah. Adat pengayauan yang dibawa dari Formosa (Taiwan) dan kepercayaan menghormati leluhur dengan tradisi kuburan tempayan merupakan ciri umum kebiasaan penduduknya. Pulau Kalimantan ini dikenal di seluruh dunia dengan nama Borneo yaitu sejak abad ke-15 M. Nama Borneo itu berasal dari nama pohon Borneol (bahasa Latin: Dryobalanops camphora)yang mengandung (C10H17.OH) terpetin, bahan untuk antiseptik atau dipergunakan untuk minyak wangi dan kamper, kayu kamper yang banyak tumbuh di Kalimantan,[1][2] kemudian oleh para pedagang dari Eropa disebut pulau Borneo atau pulau penghasil borneol, Kerajaan Brunei yang ketika datangnya bangsa Eropa ke wilayah Nusantara ini nama Brunei itu dipelatkan oleh lidah mereka menjadi "Borneo"[rujukan?] dan selanjutnya nama Borneo ini meluas ke seluruh dunia. Nama Pulau ini di identikkan dengan nama Kerajaan Brunei[3] saat itu (Yaitu oleh para pedagang Arab, Eropa serta China) karena Kerajaan Brunei pada masa itu merupakan kerajaan yang terbesar di pulau ini, sehingga para pedagang dari seluruh penjuru dunia yang akan berkunjung ke Pulau ini yang ditujunya meraka adalah Kerajaan terbesar dipulau ini saat itu yaitu Kerajaan Brunei, sehingga pulau ini kemudian disebut Pulau Brunei yang oleh pedagang Eropa kemudian di pelatkan menjadi "Borneo". Nama Kalimantan dipakai di Kesultanan Banjar kemudian oleh pemerintah Republik Indonesia dipakai sebagai nama Provinsi Kalimantan.
  • 8000 SM : Migrasi manusia ras Austrolomelanesia memasuki daratan Kalimantan.
  • 2500 SM : Migrasi nenek moyang suku Dayak dari Formosa (Taiwan) ke Kalimantan membawa tradisi ngayau.
  • 1500 SM : Migrasi bangsa Melayu Deutero ke pulau Kalimantan.

2. Zaman Pengaruh India (Agama Hindu)

Orang Melayu menyebutnya Pulau Hujung Tanah (P'ulo Chung). Para pedagang asing datang ke pulau ini mencari komoditas hasil alam berupa kamfer, lilin dan sarang burung walet melakukan barter dengan guci keramik yang bernilai tinggi dalam masyarakat Dayak. Para pendatang India maupun orang Melayu yang telah mendapat pengaruh budaya India memasuki muara-muara sungai untuk mencari lahan bercocok tanam dan berhasil menemukan tambang emas dan intan untuk memenuhi permintaan pasar. Lokasi pertambangan emas berkembang menjadi pemukiman sehingga diperlukan adanya suatu kepemimpinan. Pengaruh India ditandai munculnya kerajaan tahap awal dengan pemakaian gelar Maharaja bagi pemimpin suatu kekerabatan (bubuhan) dan sekelompok orang lainnya yang bergabung dalam kepemimpinannya dalam kesatuan wilayah wanua (distrik), yang saling berseberangan dengan wanua-wanua tetangganya yang dihuni keluarga lainnya dengan dikepalai tetuanya sendiri. Gelar India Selatan warman (yang melindungi) dilekatkan pada penguasa wanua tersebut, yang kemudian memaksa wanua-wanua tetangganya membayar upeti berupa emas dan hasil alam yang laku diekspor. Klan-klan (bubuhan) mulai disatukan oleh suatu kekuatan politik yang memusat menjadi sebuah mandala (kerajaan) yang sebenarnya bukan tradisi Austronesia. Kerajaan awal ini sudah merupakan campuran ras yang datang dari beberapa daerah, tetapi di pedalaman bangsa Austronesia masih hidup dalam komunitas rumah panjang yang mandiri dan terpisah serta saling berperang untuk berburu kepala.
  • 242-226 SM : Candi Agung di kota Amuntai didirikan, merupakan situs kerajaan pertama. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
  • 200 : Penduduk Nusa Kencana migrasi ke pulau Bawean selanjutnya ke pulau Jawa, sebagian melanjutkan perjalanan ke pulau Pawinian (Karimun Jawa) menuju Sumatera.
  • 400 : Pendatang India meng-hindu-kan raja dari Kerajaan Kutai sehingga terbentuklah kerajaan Hindu pertama di Nusantara. Prasasti Yupa dan Lesong Batu oleh Raja Mulawarman menandai zaman sejarah.
  • 525 : Suku Melayu yang sudah mendapat pengaruh India memperkenalkan sistem kerajaan kepada bangsa Austronesia di lembah sungai Tabalong yaitu suku Maanyan dan suku Bukit sehingga berdirinya Kerajaan Tanjungpuri/Kerajaan Nan Sarunai berpusat di Tanjung.
  • 600 : Sebagian Proto Suku Dayak Maanyan bermigrasi ke Madagaskar.

3. Zaman Pengaruh Sriwijaya dan Awal Kedatangan Islam

  • 700 : Pengaruh Kerajaan Melayu dan Sriwijaya ditandai penemuan patung Buddha Dipamkara dan batu bertulis aksara Pallawa "siddha" dari abad ke-7 di sungai Amas, Kalimantan Selatan.
  • 745 : Kedatangan Islam pertama kali di Nusantara ditandai penemuan Batu Nisan Sandai di Sandai, Ketapang wilayah Kerajaan Tanjungpura bertarikh 127 Hijriah (745 M).
  • 1076: Kerajaan Bulungan berpusat di kawasan Bulungan sampai tahun 1156.
  • 1156: Pusat Kerajaan Bulungan berpindah ke pesisir yakni, di kawasan sungai Kayan sampai 1216.

4. Zaman Pengaruh Singhasari dan Majapahit

Pengaruh Singhasari terutama pada Bakulapura di barat daya Kalimantan.
  • 1292 : Ratu Sang Nata Pulang Pali I memerintah Kerajaan Landak, Kalimantan Barat.
  • 1300 : Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi Raja Kutai Kartanegara I sampai tahun 1325. Ia mendirikan kerajaannya di Tepian Batu yang kini dinamakan Kutai Lama.
  • 1325 : Aji Batara Agung Paduka Nira menjadi Raja Kutai Kartanegara II sampai tahun 1360.
  • 1340 : Patih Gumantar memerintah di Kerajaan Mempawah.

5. Zaman Kekuasaan Majapahit dan Awal Kesultanan Islam

  • 1360 : Aji Maharaja Sultan menjadi Raja Kutai Kartanegara III sampai tahun 1420. Walupun raja belum memeluk Islam, dari gelarnya menunjukkan sudah munculnya pengaruh Islam.
  • 1362 : Nan Sarunai Usak Jawa, serangan yang terulang oleh Marajampahit (Majapahit) terhadap Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Kuripan menyebabkan suku Bukit menyingkir ke pegunungan Meratus dan suku Maanyan menyingkir ke daerah yang ditempati suku Lawangan.
  • 1365 : Nagarakretagama digubah oleh mpu PrapaƱca menyebutkan negeri-negeri di Nusa Tanjungnagara yang berada di bawah perlindungan Majapahit di bawah Patih Gajah Mada yaitu negeri-negeri Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Ungga, Kota Waringin, Sambas, Lawai, Kadandangan, Landa, Samadang, Tirem, Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalong, Tanjung Kutei dan Malano di pulau Tanjungpura.
  • 1383 : Awang Alak Betatar bergelar Sang Aji menjadi Sultan Brunei I sampai tahun 1402.
  • 1385 : Dara Juanti sebagai Raja Puteri di Kerajaan Sintang dilamar oleh Patih Logender yang berasal dari Majapahit.
  • 1387 : Kerajaan Negara Dipa didirikan oleh Ampu Jatmika yang berasal dari Keling. Menurut Veerbek (1889:10) Keling, provinsi Majapahit di barat daya Kediri.
  • 1394 : Kerajaan Tidung berpusat di Pimping bagian barat dan Tanah Kuning sampai tahun 1557
  • 1400 : Baddit Dipattung, Raja Berau I dengan pusat pemerintahannya di Sungai Lati, Gunung Tabur, Berau.
  • 1408 : Pateh Berbai menjadi Sultan Brunei II sampai tahun 1425.
  • 1420 : Aji Raja Mandarsyah menjadi Sultan Kutai IV sampai tahun 1475. Islam datang di Kutai pada masa pemerintahannya dibawa oleh Tuan Tunggang Parangan.
  • 1425 : Syarif Ali, seorang menantu Sultan Brunei yang berasal dari Mekkah dinobatkan sebagai Sultan Brunei III sampai tahun 1432.
  • 1429 : Bhre Tanjungpura dijabat oleh Manggalawardhani Dyah Suragharini [= Putri Junjung Buih?] puteri dari Bhre Tumapel II (= abangnya Suhita) berkuasa sampai tahun 1464.
  • 1431 : Kota Sukadana menjadi pusat Kerajaan Tanjungpura sampai dengan tahun 1724 sejak pemerintahan Pangeran Karang Tunjung (1431-1450).
  • 1432 : Adipati Agong menjadi Sultan Brunei IV sampai tahun 1485.
  • 1441 : Nisan dari batu andesit ditemukan di Keramat Tujuh, Kabupaten Ketapang bertuliskan huruf Arab bertarikh tahun 1363 Saka. Bentuk nisannya berasal dari abad terakhir Majapahit.
  • 1472 : Raden Ismahayana gelar Raja Dipati Karang Tanjung Tua menjadi Raja Landak sampai 1542.
  • 1475 : Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya dari Paser dinobatkan menjadi Raja Kutai Kartanegara V sampai tahun 1545.
  • 1478 : Maharaja Sari Kaburungan menjadi raja Kerajaan Negara Daha yang berpusat di Nagara. Islam datang pada masa pemerintahannya, karena seorang anaknya menikah dengan putri dari Sunan Giri.
  • 1485 : Bolkiah menjadi Sultan Brunei V sampai tahun 1524.
  • 1516 : Putri Petung menjadi Ratu Pasir sampai tahun 1567. Penguasa Pasir yang pertama ini berasal dari Kuripan (Negara Daha).
  • 1524 : Abdul Kahar menjadi Sultan Brunei VI sampai tahun 1530.
  • 24 September 1526 : Suriansyah, Sultan Banjar I memeluk Islam diperingati sebagai Hari Jadi Kota Banjarmasin. Kerajaan yang baru berdiri ini melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha atas dukungan Kesultanan Demak.[4]
  • 1533 : Saiful Rizal menjadi Sultan Brunei VII sampai tahun 1581.
  • 1538 : Kerajaan Tanjungpura dipimpin oleh Panembahan Baruh (1538-1550)
  • 1545 : Aji Raja Mahkota Mulia Alam menjadi Raja Kutai Kartanegara VI sampai tahun 1610, raja pertama yang memeluk Islam.
  • 1550 : Rahmatullah menjadi Sultan Banjar II sampai tahun 1570.
  • 1557 : Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet memerintah Kerajaan Tidung sampai tahun 1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Timur.
  • 1567 : Raja Aji Mas Patih Indra menjadi Raja Pasir sampai tahun 1607.
  • 1570 : Hidayatullah I menjadi Sultan Banjar III sampai tahun 1595.
  • 1571 : Amiril Pengiran Dipati I menjabat Raja Tidung sampai tahun 1613.
  • 1581 : Shah Brunei menjadi Sultan Brunei VIII sampai tahun 1582.
  • 1582 : Muhammad Hasan menjadi Sultan Brunei IX sampai tahun 1598.
  • 1590 : Penguasa Kerajaan Tanjungpura memeluk Islam dengan memakai gelar Panembahan dan Giri, yaitu Panembahan Giri Kusuma dan mengubah nama kerajaan Hindu Tanjungpura menjadi Kesultanan Sukadana-Matan.

6. Zaman Pengaruh Awal VOC

  • 1595 : Mustainbillah menjadi Sultan Banjar IV sampai tahun 1638.
  • 1596 : Pedagang Belanda merampas 2 jung lada dari Banjarmasin yang berdagang di Kesultanan Banten.
  • 1598 : Abdul Jalilul Akbar menjadi Sultan Brunei X sampai tahun 1659.
  • 1599 : Sultan Brunei mengadakan perhubungan dengan Spanyol di Manila.
  • 1600 : Anam Jaya Kesuma menjadi penguasa Kerajaan Landak.
  • 1600 : Oliver van Noord, pedagang Belanda datang ke Brunei.
  • 1600 : Abang Pencin alias Pangeran Agung yang memerintah tahun 1600 - 1643 adalah Raja Sintang yang pertama memmeluk Islam.
  • 1604 : Kerajaan Matan/Sukadana mengikat perjanjian dengan Belanda (VOC) yang menimbulkan kemarahan Raja Mataram.
  • 14 Februari 1606 : Ekspedisi Belanda dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin, Karena perangainya yang buruk nahkoda ini terbunuh dalam suatu kericuhan
  • 1607 : Raja Aji Mas Anom Indra menjadi Raja Pasir sampai tahun 1644.
  • 1607 : 17 Juli 1607 Ekspedisi VOC dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon tiba di Banjarmasin, semua ABK dibunuh sebagai pembalasan atas perampasan kapal jung Banjar di Banten tahun 1596.
  • 1 Oktober 1609 : VOC melakukan pakta kerja sama dengan Ratu Sapudak dari Kerajaan Sambas.
  • 1610 : Aji Dilanggar menjadi Sultan Kutai VII sampai tahun 1635.
  • 1610 : Raja Kudung memerintah Kerajaan Landak yang berpusat di Pekana, Karangan.
  • 1612 : Kompeni Belanda menembak hancur Banjar Lama ibukota Kesultanan Banjar, sehingga ibukotanya dipindahkan ke Martapura. Kongsi Perdagangan Inggris yang diketuai oleh Sir Hendry Middleton datang ke Brunei.
  • 1613 : Amiril Pengiran Singa Laoet menjabat Raja Tidung sampai tahun 1650.
  • 1615 : Pangeran Dipati Anta-Kasuma mendirikan Kerajaan Kotawaringin, pecahan wilayah Kesultanan Banjar paling barat yang berbatasan dengan Kesultanan Sukadana-Matan.
  • 1622 : Giri Mustika (Raden Saradewa) menantu Pangeran Dipati Anta-Kasuma dinobatkan menjadi sultan Sukadana-Matan dengan gelar Sultan Muhammad Syafiuddin (1622-1659). Kesultanan Mataram mengirim Tumenggung Bahurekso, Bupati Kendal menyerang Kesultanan Sukadana-Matan, serangan ini mengkhawatirkan kerajaan-kerajaan Kalimantan akan serangan Mataram.
  • 1625 : Muhammad Ali menjadi Sultan Brunei XII sampai 1660.
  • 1626 : Produksi lada Banjar sangat meningkat, sehingga VOC berusaha untuk memperoleh monopoli lada, dan berusaha menghilangkan kejadian tahun 1612 yaitu penyerbuan Belanda terhadap kesultanan Banjar. Belanda juga meminta maaf atas perbuatannya merampok kapal kesultanan Banjar dalam pelayaran perdagangan ke Brunei 4 Juli 1626. Perdagangan kesultanan Banjar diarahkan ke Cochin Cina (Veitnam) tidak ke Batavia.
  • 1634: VOC mengirim 6 kapal dagang ke Banjarmasin dipimpin Gijsbert van Londensteijn, kemudian ditambah beberapa kapal di bawah pimpinan Antonie Scop dan Steven Barentsz.[5]
  • 1635 : 17 Juni 1635 Kapal Pearl Inggris tiba di Banjarmasin, Tewseling dan Gregory.
  • 1635 : 4 September 1635 Sultan Banjar diwakili oleh Syahbandar Ratna Diraja Goja Babouw mengadakan kontrak dagang pertama di Betawi dengan Kompeni Belanda yang wakili oleh : Hendrik Brouwer, Antonio van Diemen, Jan van der Burgh, Steven Barentszoon. VOC juga membantu Banjar untuk menaklukan bagian timur Kalimantan (Pasir).
  • 1635 : Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura menjadi Sultan Kutai VIII sampai tahun 1650. Raja ini menaklukan Kerajaan Kutai Martadipura.
  • 1636 : Kesultanan Banjar mengklaim daerah sepanjang Kerajaan Sambas sampai Kesultanan Berau serta Karasikan sebagai wilayahnya karena saat itu Banjarmasin sudah memiliki kemampuan militer untuk menghadapi serangan dari Mataram.
  • 1636: Pertama kali Belanda mulai berdiam di Banjarmasin ketika VOC mendirikan kantor dagang di Banjarmasin di bawah pimpinan Wollenbrant Gelijnsen.[5]
  • 1638 : Inayatullah menjadi Sultan Banjar V sampai tahun 1645. Kesultanan Sukadana-Matan dan bawahannya Kerajaan Mempawah mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar. Raja Muhammad Zainudin dari Kesultanan Matan memindahkan ibukota kerajaan dari sungai Matan ke negeri Indra Laya yang disebut Kerajaan Indra Laya.
  • 1638 : Contract Craemer menolak permintaan Sultan Banjar untuk mengirimkan lada ke Makassar, pecahlah perang anti VOC sebanyak 108 orang Belanda, 21 orang Jepang dibunuh, dan loji VOC dibakar serta penghancuran terhadap kapal-kapal VOC di Banjarmasin.
  • 1640 : Gubernur Jenderal VOC Antonio van Diemen memerintahkan agar permusuhan dengan Kesultanan Banjar dihentikan dan hanya menuntut 50.000 real sebagai ganti rugi kejadian tahun 1638.
  • 1641 : Upeti yang terakhir dari Kesultanan Banjar dikirim ke Kesultanan Mataram, pengiriman upeti sempat terhenti sejak meninggalnya Sultan Demak terakhir.[5]
  • 1644 : Raja Aji Anom Singa Maulana menjadi Raja Pasir sampai tahun 1667.
  • 1645 : Saidullah menjadi Sultan Banjar VI sampai tahun 1660.
  • 1650 : Aji Pangeran Dipati Agung ing Martapura menjadi Sultan Kutai IX sampai tahun 1665. Amiril Pengiran Maharajalila I menjabat Raja Tidung sampai tahun 1695.
  • 1659 : Muhammad Zainuddin I (Marhum Negeri Laya) memerintah Kesultanan Sukadana-Matan (1659-1724). Abdul Jalilul Jabbar menjadi Sultan Brunei XI sampai tahun 1660.
  • 1660 : Rakyatullah menjadi Sultan Banjar VII sampai 1663, ia membuat perjanjian dengan VOC 18 Desember 1660. Abdul Mubin menjadi Sultan Brunei XIII sampai tahun 1673.
  • 1661 : Abdul Hakkul Mubin menjadi Sultan Brunei XIII sampai tahun 1673. Utusan kesultanan Sukadana-Matan datang di Kesultanan Banjar untuk melaporkan bahwa Sukadana kembali menjadi daerah pegaruh dari Kesultanan Banjar semenjak sebelumnya pada tahun 1638.
  • 1662 : Menurut Barra pada tahun 1662 hanya ada 12 jung orang Melayu, Inggris, Portugis mengangkut lada dan emas ke Makassar, sementara di Pelabuhan Banjarmasin dipenuhi lebih dari 1000 perahu layar, baik perdagangan interinsuler maupun perdagangan inter-kontinental.
  • 1663 : Sultan Amrullah menjadi Sultan Banjar VIII, tetapi ia kemudian dikudeta oleh Sultan Agung menjadi Sultan Banjar IX sampai tahun 1679, dengan bantuan suku Biaju dan memindahkan ibukota ke Sungai Pangeran, Banjarmasin.
  • 1665 : Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura menjadi Sultan Kutai X sampai tahun 1686.
  • 1667 : Panembahan Sulaiman I menjadi Raja Pasir sampai tahun 1680.
  • 21 Januari 1668 : Lamohang Daeng Mangkona mendirikan Kota Samarinda yang penduduknya dikenal sebagai orang Bugis Samarinda Seberang.
  • 1670 : Sultan Muhammad Tajuddin dari Sambas memerintah sampai tahun 1708.
  • 1672 : Sultan Nata Muhammad Syamsudin Sa’idul Khairiwaddien, sebagai Raja Sintang yang pertama memakai memakai gelar yang lebih tinggi Sultan, memerintah sampai tahun 1737.
  • 1673 : Muhyiddin menjadi Sultan Brunei XIV sampai tahun 1690.
  • 1675 : Muhammad Syafeiuddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 16701675 - 1685.
  • 1680 : Amirullah Bagus Kusuma naik tahta kembali menjadi Sultan Banjar X sampai tahun 1700. Panembahan Adam I menjadi Raja Pasir sampai tahun 1705. Raja Senggauk menjadi Raja Mempawah.
  • 1686 : Ratu Agung, wanita pertama memimpin Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1700.
  • 18 Januari 1689 : Penyebar agama Katolik, Antonio Ventimiglia tiba di Banjarmasin dari Goa, India.[6]
  • 25 Juni 1689 : Kapal Portugis di bawah pimpinan Kapten Cotingo memasuki daerah Pulau Petak di kabupaten Kapuas dan menjalin hubungan dengan suku Dayak Ngaju.
  • 1690 : Nassaruddin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1705.
  • 1695 : Amiril Pengiran Maharajalila II menjabat Raja Tidung sampai tahun 1731.
  • 1699 : Pada bulan April, dua orang bangsa Inggris Henry Watson dan Captain Cotesworth diinstruksikan mendirikan factory/gudang di Banjarmasin.[7]
  • 1700 : Hamidullah menjadi Sultan Banjar XI sampai tahun 1734. Aji Pangeran Dipati Tua menjadi Sultan Kutai Kartanegara XII yang sampai tahun 1710. Tahun 1700 terjadi perang antara Landak dan Matan,karena perebutan pewarisan intan kobi. Landak dibantu oleh Banten dan VOC, karena itu kemudian Banten menyatakan Landak dan Matan di bawah kuasa Kesultanan Banten.
  • 1701 : Sesudah kekalahan orang-orang Banjar dalam Perang Inggris-Banjar I pada Oktober 1701, orang-orang Cina kehilangan tempat dan hak mereka dalam pasar lada. Karena sebagian besar tindakan raja Banjar diatur oleh Inggris sebagai pemenang perang, maka diperintahkanlah semua rakyatnya untuk menjual ladanya kepada orang-orang di bawah pengawasan Inggris, yang mendirikan tempat penjagaan yang terletak di muara sungai Barito.
  • 1703 : Sultan Aji Muhammad Alamsyah menjadi Sultan Pasir I sampai tahun 1726, untuk pertama kalinya penguasa Pasir mengambil gelar yang lebih tinggi Sultan.
  • 1705 : Hussin Kamaluddin menjadi Sultan Brunei (periode I) sampai tahun 1730.
  • 1707 : Orang-orang Inggris diusir dari Banjar dalam Perang Inggris-Banjar II tahun 1707, sehingga orang-orang Cina dapat bebas kembali untuk mengadakan transaksi dengan para pedagang lada Banjar dan Biaju. Jumlah orang-orang Cina yang berkumpul di daerah Kesultanan Banjar makin hari makin besar terdiri atas pedagang-pedagang jung dan pedagang-pedagang menetap.
  • 1708 : Umar Akamuddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1732.
  • 1710 : Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura menjadi Sultan Kutai Kartanegara XIII sampai tahun 1735.
  • 1724 : Pemerintahan Kerajaan Matan/Sukadana oleh Sultan Ma’aziddin (1724-1762).
  • 1726 : Sebagai menantu dari Sultan Pasir, La Madukelleng (Pahlawan Nasional) menjabat Raja Pasir sampai tahun 1736.
  • 1730 : Muhammad Alauddin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1745.
  • 1731 : Wira Amir menjadi Sultan Bulungan I sampai tahun 1777. Amiril Pengiran Dipati II menjabat Raja Tidung sampai tahun 1765.
  • 1732 : Abubakar Kamaluddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1762. Ibukota Kesultanan Kutai dipindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.
  • 1733 : Panglima perang dari La Madukelleng (Arung Singkang) menyerang Banjarmasin tetapi mengalami kegagalan.
  • 1734 : Tamjidillah I menjadi Sultan Banjar XII sampai tahun 1759.
  • 1735 : Aji Muhammad Idris menjadi Sultan Kutai Kartanegara XIV sampai tahun 1778.
  • 1736 : Sultan Sepuh I Alamsyah menjadi Sultan Pasir II sampai tahun 1766.
  • 1740 : Panembahan Mempawah, Opu Daeng Manambung mendatangkan pekerja tambang dari daratan Cina.
  • 1745 : Hussin Kamaluddin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1762 untuk kedua kalinya.
  • 1747 : Kompeni Belanda mendirikan benteng di Pulau Tatas (Banjarmasin) merupakan permukiman Eropa pertama di Kalimantan hingga tahun 1810 kemudian ditinggalkan oleh Marshall Daendels sesuai perjanjian dengan Sultan Banjar.
  • 1750 : Puana Dekke meminjam tanah kepada Tamjidullah I untuk mendirikan pemukiman di tenggara Kalsel yang kelak dikenal sebagai orang Bugis Pagatan.

7. Zaman Kekuasaan VOC

Orang-orang Italia merupakan orang Eropa pertama yang mengunjungi Kalimantan pada abad ke-14, kemudian disusul orang Spanyol, Inggris, dan Belanda. Kerajaan Sambas merupakan daerah pertama yang berada di bawah pengaruh Belanda semenjak kontrak dengan VOC yang dibuat oleh Ratu Sapudak (Raja Sambas) pada tanggal 1 Oktober 1609. Pada tanggal 4 September 1635, Kesultanan Banjar membuat kontrak perdagangan yang pertama dengan VOC dan VOC akan membantu Banjar menaklukan Paser. Sejak 1636, Banjarmasin berusaha menjadi pusat mandala bagi kerajaan-kerajaan lainnya yang ada di Kalbar, Kalteng, dan Kaltim. Hikayat Banjar mencatat adanya pengiriman upeti kepada Sultan Banjarmasin dari Sambas, Sukadana, Paser, Kutai, Berau, Karasikan (Buranun/Sulu), Sewa Agung (Sawakung), Bunyut dan negeri-negeri di Batang Lawai. Sukadana (dahulu bernama Tanjungpura) merupakan induk bagi kerajaan Tayan, Meliau, Sanggau dan Mempawah. Pada tahun 1638 di Banjarmasin terjadi tragedi pembantaian terhadap orang-orang Belanda dan Jepang sehingga Belanda mengirim ekspedisi penghukuman dan membuat ancaman terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Tahun 1700 Sukadana (Matan) mengalami kekalahan dalam perang dengan Landak (vazal Banten). Landak dibantu Banten dan VOC, sehingga Banten mengklaim Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) sebagai wilayahnya. Tahun 1756 VOC berusaha mendapatkan Lawai, Sintang dan Sanggau dari Banjarmasin. Daerah awal di Kalimantan yang diklaim milik VOC adalah wilayah sepanjang pantai dari Sukadana sampai Mempawah yang diberikan oleh Kesultanan Banten pada 26 Maret 1778. VOC sempat mendirikan pabrik di Sukadana dan Mempawah tetapi 14 tahun kemudian ditinggalkan karena tidak produktif (Sir Stamford Rafless, The History of Java). Pendirian Kesultanan Pontianak yang didukung VOC di muara sungai Landak semula diprotes Landak karena merupakan wilayahnya tetapi akhirnya mengendur karena tekanan VOC. Pada 13 Agustus 1787, Kesultanan Banjar menjadi daerah protektorat VOC dan vazal-vazal Banjarmasin diserahkan kepada VOC meliputi Kaltim, Kalteng, sebagian Kalsel, dan pedalaman Kalbar, yang ditegaskan lagi dalam perjanjian 1826. Hindia Belanda kemudian membentuk Karesidenan Sambas dan Karesidenan Pontianak dengan diangkatnya raja-raja sebagai regent dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Belakangan Karesidenan Sambas dilebur ke dalam Karesidenan Pontianak beserta daerah pedalaman Kalbar menjadi Karesidenan Borneo Barat. Tahun 1860 Hindia Belanda menghapuskan Kesultanan Banjar, kemudian terakhir wilayahnya menjadi bagian dari Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo.
  • 1756 : Pada 20 Oktober 1756 Tamjidullah I membuat perjanjian dengan VOC berisi larangan berdagang lada dengan orang Cina, Inggris dan Prancis selanjutnya VOC akan membantu menaklukkan kembali daerah yang memisahkan diri seperti : Berau, Kutai, Paser, Sanggau, Sintang dan Lawai.
  • 1759 : Muhammad Aliuddin Aminullah menjadi Sultan Banjar XIII sampai tahun 1761.
  • 1761 : Susuhunan Nata Alam adalah Sultan Banjar XIV sampai tahun 1801, sebelumnya sebagai wali Putra Mahkota yang masih kecil.
  • 1762 : Umar Akamuddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1793. Di Brunei, Omar Ali Saifuddin I menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1795.
  • 1765 : Amiril Pengiran Maharajadinda menjabat Raja Tidung sampai tahun 1782.
  • 1766 : Sultan Ibrahim Alam Syah menjadi Sultan Pasir III sampai tahun 1786.
  • 23 Oktober 1771 : Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie yang pada tahun 1778 direstui VOC-Belanda sebagai Sultan Pontianak I berkuasa sampai tahun 1808. Pendirian kerajaan baru di muara sungai Landak ini semula diprotes oleh Kerajaan Landak.
  • 1772 : Sayyid Idrus Alaydrus, menantu Sultan Mahmud Badaruddin I dari Kesultanan Palembang diangkat VOC-Belanda menjadi Yang DiPertuan Kerajaan Kubu yang pertama, memerintah sampai tahun 1795.
  • 1775 : La Pangewa, pemimpin orang Bugis-Pagatan direstui Sultan Tahmidullah II sebagai raja pertama Kerajaan Pagatan, setelah menggempur Pangeran Amir (Raja Kusan I) yang menyingkir hingga ke Kuala Biaju.
  • 1777 : Republik Lanfang sebuah negara Hakka di Kalimantan Barat didirikan oleh Low Fang Pak sampai akhirnya dihancurkan oleh VOC-Belanda di tahun 1884.
  • 1778 : Menurut akta tanggal 26 Maret 1778 Landak dan Sukadana diserahkan kepada Kompeni Belanda oleh Sultan Banten. Inilah wilayah yang mula-mula menjadi milik VOC.
  • 1778 : Aji Muhammad Aliyeddin menjadi Sultan Kutai Kartanegara XIV sampai tahun 1780.
  • 1780 : Aji Muhammad Muslihuddin menjadi Sultan Kutai Kartanegara XV sampai tahun 1816.
  • 1782 : Amiril Pengiran Maharajalila III menjadi Raja Tidung sampai tahun 1817.
  • 28 September 1782 : Pemindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara dari Pemarangan ke Tepian Pandan.
  • 1785 : Pangeran Amir dibantu Arung Tarawe menyerang Tabaneo dengan pasukan 3000 orang Bugis-Paser berkekuatan 60 buah perahu untuk menuntut tahta Kesultanan Banjar dari Tahmidullah II.[8]
  • 1786 : Ratu Agung menjadi Sultan Pasir II sampai tahun 1788.
  • 14 Mei 1787 : Pangeran Amir ditangkap Kompeni Belanda, kemudian diasingkan ke Srilangka.
  • 13 Agustus 1787 : Sultan Tahmidullah II menyerahkan kedaulatan Kesultanan Banjar kepada VOC menjadi daerah protektorat dengan Akte Penyerahan di depan Residen Walbeck, setelah VOC-Belanda berhasil menyingkirkan Pangeran Amir, rivalnya dalam perebutan tahta. Sebagian besar Kalimantan diserahkan menjadi properti perusahaan VOC.
  • 1788 : Sultan Dipati Anom Alamsyah menjadi Sultan Pasir III sampai tahun 1799. Sultan ini menikahi Ratu Intan I yaitu Ratu dari Tjangtoeng dan Batoe Litjin.
  • 1789 : Sultan Pontianak dengan dukungan Belanda melakukan serangan terhadap Panembahan Mempawah dengan tujuan merebut wilayah Panembahan Mempawah. Kongsi Lan Fong kemudian juga mengirimkan pasukannya membantu pasukan Sultan Pontianak. Panembahan Mempawah kalah kemudian Raja Panembahan Mempawah mengundurkan dirinya ke daerah Karangan dan kemudian menetap di sana.
  • 1790 : Abubakar Tajuddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1814.
  • 1795 : Muhammad Tajuddin menjadi Sultan Brunei IX sampai tahun 1807. Memerintahkan Khatib Haji Abdul Latif menuliskan Silsilah Raja-Raja Brunei serta memerintahkan supaya membuat rumah wakaf untuk jamaah haji Brunei di Mekkah.
  • 1797 : Kedaulatan atas daerah Paser dan Pulau Laut diserahkan VOC kembali kepada Sultan Banjar, Tahmidullah II.
  • 1799 : Sultan Sulaiman II Alamsyah menjadi Sultan Pasir IV sampai tahun 1811.

8. Zaman Hindia Belanda

  • 1801 : Sulaiman Saidullah II menjadi Sultan Banjar XV sampai tahun 1825.
  • 1806 : Muhammad Jamalul Alam I menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1807.
  • 1806 : 11 Agustus 1806 Keraton Banjar berganti nama dari Bumi Kencana menjadi Bumi Selamat.
  • 1807 : Muhammad Kanzul Alam menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1829.
  • 1808 : Syarif Kasim Alkadrie menjadi Sultan Pontianak II sampai tahun 1819.
  • 1810 : Sultan Alimuddin menjadi sultan pertama Kesultanan Sambaliung, pecahan Kesultanan Berau yang dibagi dua.
  • 1811 : Sultan Ibrahim Alamsyah menjadi Sultan Pasir sampai tahun 1815.
  • 1812 : Alexander Hare menjadi Resident-commissioner bagi pemerintahan Inggris di Banjarmasin.[9]
  • 1814 : Ratu Imanuddin memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Kotawaringin dari Kotawaringin Lama ke Pangkalan Bun.
  • 1814 : Muhammad Ali Syafeiuddin I menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1828.
  • 1815 : Sultan Mahmud Han Alamsyah menjadi Sultan Pasir sampai tahun 1843.
  • 1816 : Aji Muhammad Salehuddin menjadi Sultan Kutai XVI sampai tahun 1845.
  • 1817 : Amiril Tadjoeddin menjabat Raja Tidung sampai tahun 1844.
  • 1817 : 1 Januari 1817 Kontrak Persetujuan Karang Intan I antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.
  • 1819 : Syarif Osman Alkadrie menjadi Sultan Pontianak III sampai tahun 1855. Ia ditunjuk Pemerintah Hindia Belanda untuk memimpin Afdeeling Pontianak.
  • 1820 : Zainul Abidin II bin Badruddin (1820 - 1834) menjadi Sultan Gunung Tabur I, pecahan dari Kesultanan Berau. Pangeran Musa menantu Sultan Sulaiman dari Banjar menjadi Raja Kusan II sampai tahun 1830.
  • 1823 : 13 September 1823 : Kontrak Persetujuan Karang Intan II antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.
  • 1825 : Adam Alwasikh Billah menjadi Sultan Banjar XVI sampai tahun 1857. Di Brunei, Muhammad Alam menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1828.
  • 1825 : Bulan Juli 1825, Pangeran Aji Jawi, Raja Tanah Bumbu menjalin kontrak dengan Hindia Belanda.
  • 1826 : Setelah serangan penaklukan keraton Banjar di Banjarmasin pada tahun 1826, Hindia Belanda telah membuat aturan daerah mana saja yang masih dikuasai Kesultanan Banjar dan menentukan pembagian wilayah-wilayah.
  • 1828 : Usman Kamaluddin menjadi wali Sultan Sambas sampai tahun 1832.
  • 1829 : Omar Ali Saifuddin II menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1852.
  • 1830 : Pangeran M. Nafis bin Pangeran Musa menjadi Raja Kusan III sampai tahun 1840.
  • 1832 : Umar Akamuddin III menjadi wali Sultan Sambas sampai tahun wafat 22 Desember 1846.
  • 1835: Zending dari Jerman mulai bekerja di selatan Kalimantan.[10]
  • 1837 : Berdirinya swapraja Kerajaan Matan berdiri dengan rajanya Panembahan Anom Kusuma Negara.
  • 1840 : Pangeran Jaya Sumitra bin Pangeran M. Nafis menjadi Raja Kusan IV sampai tahun 1850.
  • 24 September 1841 : James Brooke diangkat menjadi gubernur Sarawak
  • 1841 : Pangeran Aji Jawi, Raja Tanah Bumbu mangkat. Pangeran Mangku Bumi menjadi Raja Sampanahan, Pangeran Muda Muhammad Arifbillah menjadi Raja Cengal, Manunggul, Bangkalaan, sedangkan Raja Aji Mandura sebagai Raja Cantung.
  • 18 Agustus 1842 : James Brooke diberi gelar Rajah oleh Sultan Brunei. James Brooke menguasai wilayah Sarawak yang paling barat hingga kematiannya pada 1868.
  • 1843 : Sultan Adam II Aji Alamsyah menjadi Sultan Pasir sampai tahun 1853.
  • 1844 : Amiril Pengiran Djamaloel Kiram menjabat Raja Tidung sampai tahun 1867.
  • 11 Oktober 1844 : Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.
  • 1845 : Swapraja Kerajaan Matan dipimpin oleh Panembahan Muhamamad Cabran dari tahun 1845-1908.
  • 18 Maret 1845 : Kontrak dengan Hindia Belanda mengenai wilayah Kesultanan Banjar. Wilayah baru ini lebih kecil dibanding dengan sebelumnya, yaitu hanya daerah inti dari Kesultanan Banjar dan tidak mempunyai akses ke laut. Dan Belanda mengangkat gubernur bernama Weddik. [5]
  • 1846 : Raja Aji Mandura, menggabungkan negeri Buntar-Laut dengan Kerajaan Cantung, sehingga ia menjadi Raja Cantung dan Buntar-Laut.
  • 1846 : Abu Bakar Tadjuddin II menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1854. Masa pemerintahan Ratu Intan II, ratu dari Bangkalaan, Manoenggoel dan Tjingal.
  • 28 September 1849 : Gubernur Jenderal J.J. Rochussen datang ke Pengaron di Kesultanan Banjar untuk meresmikan pembukaan tambang batu bara Hindia Belanda pertama yang dinamakan Tambang Batu Bara Oranje Nassau Bentang Emas.
  • 1850 : Pangeran Akhmad Hermansyah menjadi Raja Kotawaringin sampai tahun 1865. Aji Muhammad Sulaiman menjadi Sultan Kutai XVIII sampai tahun 1899. Pangeran Jaya Sumitra menjadi Raja Pulau Laut I sampai tahun 1861.
  • 1852 : Abdul Momin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1885.
  • 8 Agustus 1852 : Tanpa persetujuan Sultan Adam, Pangeran Tamjidillah II diangkat menjadi Sultan Muda oleh Pemerintah Hindia Belanda merangkap Mangkubumi di Kesultanan Banjar. Hindia Belanda dan Tamjidilah II sudah membangun konsesus dalam mendapatkan tanah apanase di Pengaron sebagai wilayah pertambangan batu bara.
  • 1853 : Pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Asisten Residen di Samarinda. Sultan Sepuh II Alamsyah menjadi Sultan Pasir sampai tahun 1875.
  • 1854 : Umar Kamaluddin menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1866.
  • 1855 : Syarif Hamid Alkadrie menjadi Sultan Pontianak IV sampai tahun 1872.
  • 9 Oktober 1856 : Hindia Belanda mengangkat Hidayatullah II sebagai Mangkubumi Banjar untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh kaum ulama dan bangsawan keraton serta telah mendapat wasiat dari Sultan Adam sebagai Sultan Banjar.
  • 30 April 1856 : Pangeran Hidayatullah II menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara kepada Hindia Belanda karena pengangkatannya sebagai Mangkubumi Banjar.
  • 1857 : Tamjidillah Alwasikh Billah diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar XVII sampai tahun 1860 kemudian dimakzulkan dan dikirim Belanda ke Bogor.
  • 11 November 1858 : Pertama kali meletusnya Perang Banjar, dipimpin Pangeran Antasari.
  • 18 April 1859 : Penyerangan terhadap tambang Oranje Nassau dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari dibantu oleh Pembekal Ali Akbar dan Mantri Temeng Yuda atas persetujuan Pangeran Hidayatulah II.
  • 25 Juni 1859 : Hindia Belanda memakzulkan Tamjidillah II sebagai Sultan Banjar sebagai hasil kesepakatan Mangkubumi Pangeran Hidayatullah II dan Kolonel Andresen untuk memulihkan keadaan. Dengan siasat menempatkan Pangeran Hidayatullah sebagai Sultan Banjar dan menurunkan Tamjidillah II karena Belanda menilai penyerangan tambang mereka berkaitan dengan kekuasaan di Kesultanan Banjar.
  • 27 September 1859 : Belanda berhasil menduduki benteng pasukan Pangeran Antasari di Gunung Lawak.
  • 5 Februari 1860 : Belanda mengumumkan bahwa jabatan Mangkubumi Pangeran Hidayat dihapuskan.[11]
  • 11 Juni 1860 : Residen Belanda, I. N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan kerajaan di seluruh Kalimantan, termasuk pemerintahan Kesultanan Banjar.
  • 1860 : Pangeran Syarif Ali Alaydrus putera dari Syarif Idrus Alaydrus raja Kerajaan Kubu diangkat Belanda menjadi Raja Sabamban I
  • 1861 : Pangeran Abdul Kadir menjadi Raja Pulau Laut II sampai tahun 1873.
  • 14 Maret 1862 : Pangeran Antasari ditabalkan sebagai Panembahan (Sultan Banjar XVIII) oleh para kepala suku Dayak yang dipimpin oleh Kiai Yang Pati Jaya Raja, adipati (gubernur) wilayah Tanah Dusun, Kapuas dan Kahayan.
  • 11 Oktober 1862 : Pangeran Antasari (Pahlawan Nasional) mangkat karena penyakit cacar.
  • 1862 : Gusti Muhammad Seman menjadi Sultan Banjar XIX dalam pemerintahan Pagustian sampai gugur di tembak Belanda pada tahun 1905.
  • 1863 : Suku Iban bermigrasi ke daerah hulu sungai Saribas dan sungai Rajang, dan menyerang suku Kayan di daerah hulu sungai-sungai dan terus maju ke utara dan ke timur. Perang dan serangan pengayauan menyebabkan suku-suku lain terusir dari lahannya.
  • 27 Februari 1864 : eksekusi Demang Lehman di tiang gantungan di tanah lapang Martapura.
  • 1865 : Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha menjadi Raja Kotawaringin sampai tahun 1904.
  • 16 Agustus 1866 : Muhammad Syafeiuddin II menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1924.
  • 1867 : Datoe Maoelana/Ratoe Intan Doera menjabat Raja Tidung sampai tahun 1896.
  • 1872 : Syarif Yusuf Alkadrie menjadi Sultan Pontianak V sampai tahun 1895.
  • 1873 : Pangeran Berangta Kasuma menjadi Raja Pulau Laut III sampai tahun 1881.
  • 1875 : Pangeran Aji Inggu putera Sultan Sepuh II Alamsyah menjadi Raja Pasir sampai tahun 1876.
  • 1876 : Perang Sukadana dengan Pontianak, pelabuhan Sukadana akhirnya ditutup. Sultan Abdur Rahman Alamsyah (1876 - 1896) dinobatkan oleh rakyat menjadi Sultan Pasir di Benua dan Sultan Muhammad Ali (1876 - 1898) dinobatkan oleh Belanda menjadi Sultan Pasir di Muara Pasir.
  • 1877 : Abdul Momin membuat perjanjian dengan Gustavus Baron de Over-back dan Alfred Dent mengenai penggadaian terhadap wilayah-wilayah Brunei di Sabah.
  • 1881 : Sabah diambil alih oleh British North Borneo Company kemudian menjadi protektorat Britania Raya dengan masalah internal tetap diadministrasi oleh perusahaan tersebut tahun 1888. Pangeran Amir Husin Kasuma menjadi Raja Pulau Laut IV sampai tahun 1900.
  • 1885 :Hashim Jalilul Alam Aqamaddin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1906.
  • 1894 : Pertemuan suku-suku Dayak di Tumbang Anoi, Kalimantan Tengah untuk mengakhiri tradisi ngayau.
  • 1895 : Pencatatan penduduk Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo terdiri : 598 orang Eropa, 4.525 orang China, 1.534 orang Arab, 116 orang Timur Asing serta 803.013 orang Bumiputera. Syarif Muhammad Alkadrie menjadi Sultan Pontianak VI sampai tahun 1944.
  • 1896 : Datoe Adil menjabat Raja Tidung sampai tahun 1916.
  • 1898 : Kevakuman pemerintahan Kesultanan Pasir sampai tahun 1899 karena diambil alih Belanda.
  • 1899 : Residen C.A Kroesen memimpin Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo. Aji Muhammad Alimuddin menjadi Sultan Kutai XIX sampai 1910. Sultan Ibrahim Khaliluddin menjadi Sultan Pasir sampai tahun 1908.
  • 1903 : Sultan Brunei mengutus surat kepada Sultan Abdul Hamid II, Turki Usmaniyah karena Limbang (wilayah Brunei) direbut oleh Charles Brooke pada tahun 1890.
  • 1905 : Pangeran Ratu Sukma Negara menjadi Raja Kotawaringin sampai tahun 1913.
  • 24 Januari 1905 : Sultan Muhammad Seman, putra dari Pangeran Antasari gugur melawan Belanda di pedalaman sungai Barito.
  • 15 September 1905 : Panglima Batur digantung Belanda.
  • 1906 : Sultan Hashim Jalilul Alam Aqamaddin menandatangani Perjanjian Protektorat Inggris atas Brunei dan menerima Sistem Residen di Brunei. Penggantinya, Muhammad Jamalul Alam II menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1924.
  • 1908 : Gusti Muhammad Saunan berkuasa di swapraja Kerajaan Matan sejak 1908-1944.
  • 1914 : Pangeran Ratu Sukma Alamsyah menjadi Raja Kotawaringin sampai tahun 1939.
  • 1919 : Banjarmasin ibukota Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo mendapat otonomi pemerintahan menjadi Gemeente Bandjermasin.
  • 1920 : Untuk menghindari rodi (erakan) yang dijalankan Belanda gelombang terakhir suku Banjar migrasi menyusuri jalur selatan Kalimantan Barat, pantai utara Bangka (Belinyu) menuju Kuala Tungkal dan Tembilahan selanjutnya menyebar ke Sumatera Utara, Batu Pahat dan Perak, Malaysia. Jalur ini merupakan jalur kuno migrasi Suku Maanyan ke Madagaskar.
  • 14 November 1920 : Sultan Aji Muhammad Parikesit menjadi Sultan Kutai XX.
  • 1923 : Nasional Borneo Kongres ke-1 diprakarsai oleh Sarekat Islam.
  • 1924 : Muhammad Ali Syafeiuddin II menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1926 dan di Brunei, Ahmad Tajuddin menjadi Sultan Brunei sampai tahun 1950. Di Banjarmasin, J. De Haan menggantikan kedudukan C.J. Van Kempen sebagai residen Belanda sampai tahun 1929
  • 29 Maret-31 Maret 1924 : National Borneo Congres ke-2, dihadiri Sarekat Islam lokal dan wakil-wakil Perserikatan Dayak (non Islam).
  • 1926 : Muhammad Ibrahim Syafeiuddin menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1944.
  • 1929 : R. Koppenel menjadi residen Belanda di Banjarmasin sampai tahun 1931.
  • 1933 : W.G. Morggeustrom menjadi residen Belanda di Banjarmasin sampai 1937.
  • 12 Juni 1936: Pemerintah Hindia Belanda menetapkan Tanjung Puting sebagai cagar alam dan suaka margasatwa.
  • 1938 : Residentie Wester Afdeeling van Borneo dan Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo menjadi sebuah Kegubernuran Borneo dengan dr. A. Haga sebagai gubernur sampai kedatangan Jepang. Gemeente Bandjermasin ditingkatkan menjadi Stads Gemeente Bandjermasin.
  • 1940 : Pangeran Ratu Anom Alamsyah menjadi Raja Kotawaringin sampai tahun 1948.
  • 25 Desember 1941 : Jepang membom Lapangan Terbang Ulin, Landasan Ulin, Banjarbaru.

9. Zaman Jepang

  • 21 Januari 1942 : Jepang menembak jatuh pesawat Catalina-Belanda di sungai Barito perairan Alalak, Barito Kuala.
  • 8 Februari 1942 : Jepang memasuki Muara Uya, Tabalong, Gubernur Haga mengungsi ke Kuala Kapuas selanjutnya menuju pedalaman Barito yaitu Puruk Cahu, dengan rencana untuk merebut kembali ibukota Borneo (Banjarmasin) dengan perang gerilya.
  • 10 Februari 1942 : Tentara Jepang memasuki Banjarmasin, ibukota Borneo (Kalimantan).
  • 12 Februari 1942 : Tentara Jepang mengeluarkan maklumat kota Banjarmasin dan daerahnya diserahkan kepada Pimpinan Pemerintahan Civil.
  • 3 Maret 1945 : Misi operasi Platypus mulai dijalankankan di Balikpapan.[12]
  • 5 Maret 1942 : A.A Hamidhan menerbitkan surat kabar Kalimantan Raya di Banjarmasin.
  • 18 Maret 1942 : Kiai Pangeran Musa Ardi Kesuma ditunjuk Jepang sebagai Ridzie, penguasa tertinggi pemerintah sipil meliputi wilayah Banjarmasin, Hulu Sungai dan Kapuas-Barito.
  • 1944 : Syarif Thaha Alkadrie menjadi Sultan Pontianak VII sampai tahun 1945.Muhammad Taufik menjadi Sultan Sambas sampai tahun 1984.
  • 17 April 1945 : Rakyat Banjarmasin mulai diwajibkan memberi hormat dengan membungkukkan badan kepada setiap tentara Jepang baik yang naik sepeda, mobil dan sebagainya.

10. Zaman NICA dan Federalisme

  • 1945 : Sultan Hamid II menjadi Sultan Pontianak VIII sampai tahun 1950.
  • 6 Mei 1945 : Pembentukan TRI pasukan MN 1001, MKTI (MN=Muhammad Noor)
  • 2 September 1945 : Pemerintahan Sukarno-Hatta melantik Ir. H. Pangeran Muhammad Noor sebagai gubernur Kalimantan.
  • 17 Oktober 1945 : Penerjunan pertama pasukan payung Republik Indonesia di Desa Sambi, Arut Utara, Kotawaringin Barat (Palagan Sambi). Tanggal ini menjadi Hari Jadi Paskhas TNI AU.
  • 9 November 1945 : Pertempuran di Banjarmasin melawan Belanda.
  • 31 Januari 1946 : Di Yogyakarata, Presiden Sukarno menerima 32 pemuda Kalimantan[13]
  • 1946 : Pemerintahan perusahaan British North Borneo Company berakhir dan Sabah menjadi koloni dari British North Borneo sampai menjadi federasi Malaysia pada 1963.
  • 17 Mei 1949 : Proklamasi Kalimantan oleh Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan oleh Letkol. Hasan Basry (Pahlawan Nasional).
  • 1950 : Omar Ali Saifuddin III menjadi Sultan Brunei 1967.
  • 18 April 1950 : Pembubaran Dewan Dayak Besar, Dewan Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara.

11. Zaman modern

  • 14 Agustus 1950 : Pembentukan provinsi Kalimantan setelah bubarnya RIS dengan gubernur dr. Moerjani, tetap diperingati sebagai Hari Jadi Propinsi Kalimantan Selatan.
  • 23 September 1953 : Wafatnya Ratu Zaleha, putri Sultan Muhammad Seman, tokoh emansipasi wanita Kalimantan, sebelumnya diasingkan di Cianjur.
  • 4 Oktober 1956 : Sidang Kabinet memutuskan untuk memekarkan Propinsi Kalimantan menjadi tiga provinsi otonom.
  • 7 Desember 1956 : Kalimantan dipecah menjadi provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
  • 23 Mei 1957 : Pembentukan provinsi Kalimantan Tengah dimekarkan dari Kalimantan Selatan.
  • 8 Desember 1962 : Revolusi Brunei pecah yang dipimpin oleh Yassin Affandi dan pemberontak bersenjatanya (Tentara Nasional Kalimantan Utara).
  • 1963 : Sabah dan Sarawak bergabung dalam federasi Malaysia.
  • 1967 : Haji Hassanal Bolkiah Mu'izzaddin Waddaulah menjadi Sultan Brunei XXIX hingga kini.
  • 4 Januari 1979 : Brunei dan Britania Raya telah menandatangani Perjanjian Kerjasama dan Persahabatan.
  • 1 Januari 1984 : Brunei Darussalam telah berhasil mencapai kemerdekaan sepenuhnya.
  • 1984 : Pangeran Ratu Winata Kusuma sebagai kepala rumah tangga Kesultanan Sambas.
  • 12 Mei 1984 : Penetapan Taman Nasional Tanjung Puting oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia.
  • 1999 : Haji Aji Muhammad Salehuddin II menjadi Raja Kutai Kartanegara XXI hingga kini.
  • 26 Mei - 29 Mei 2008 : Rakernas I Majelis Adat Dayak Nasional di Palangkaraya menuntut Otonomi Khusus untuk Kalimantan

12. Referensi

  1. borneo
  2. borneol definition
  3. 'Baru nah'
  4. (ms)Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
  5. ^ (id) Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan
  6. Characteristics of the Diocese Diocese of Palangka Raya
  7. R. Suntharalingam, The British in Banjarmasin: An Abortive Attempt in Settlement 1700-1707
  8. Buginese on Borneo
  9. (id) Rosihan Anwar, Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, Jilid 1, Penerbit Buku Kompas, 2004 ISBN 979-709-141-4, 9789797091415
  10. (id) Th. van den End, Ragi Carita 1, Jilid 1 dari Ragi carita: sejarah gereja di Indonesia, BPK Gunung Mulia, 1987, ISBN 979-415-188-2, 9789794151884
  11. (id) Tamar Djaja, Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah air, Volume 2, Bulan Bintang, 1966
  12. (en) A. B. Feuer, Australian commandos: their secret war against the Japanese in World War II, Stackpole Military history series, Stackpole Books, 2006, ISBN 0-8117-3294-0, 9780811732949
  13. [http://books.google.co.id/books?id=QrL5g_wp3i8C&lpg=PA42&dq=balikpapan%20banjarmasin&pg=PA43#v=onepage&q=balikpapan%20banjarmasin&f=true (id) Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, Kronik revolusi Indonesia, Volume 1, Kepustakaan Populer Gramedia, 1999 ISBN 9799023270, 9789799023278]. Diakses 3 September 2010